"Sekali tepuk, tiga tujuan tercapai," komentar moderator setelah pegawai perusahaan raksasa di bidang perkebunan kelapa sawit selesai bicara. Perusahaan ini berniat mengikuti program penyerapan dan penyimpanan karbon. Namun surat permohonan tersebut belum mendapat respons dari Kementerian Kehutanan.
Hadi menjelaskan, seminar tersebut bertujuan mengumpulkan bahan untuk menyusun pedoman teknis dari measurement, reporting, and verification (MRV) bagi pemegang izin di hutan produksi dalam upaya mitigasi emisi gas rumah kaca. "Kami akan buat aturan yang merujuk pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2009," kata Hadi.
Peraturan yang keluar pada 22 Mei 2009, yang jadi rujukan Hadi, mengenai prosedur izin untuk penyerapan dan penyimpanan karbon di hutan produksi dan hutan lindung. Para pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam (IUPHHK-HA), dalam hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI), dalam restorasi ekosistem (IUPHHK-RE), dan hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR) berhak mengikuti program ini.
Menurut Hadi, metodologi pengukuran, pelaporan, dan verifikasi ini berguna pada saat implementasi REDD pasca-Protokol Kyoto pada 2012. Kepada peserta seminar, dia membagikan draf Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan tentang Pedoman Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Kegiatan Pemanfaatan Hutan pada Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.
Memang, untuk menyongsong implementasi REDD di Indonesia, sejak dua tahun lalu Kementerian Kehutanan sudah mengambil ancang-ancang. Selain peraturan nomor P.36, telah ada aturan menteri nomor P.30 tahun 2009 tentang mekanisme dan persyaratan untuk REDD serta nomor P.68 tahun 2008 tentang implementasi dari demonstration activities REDD.
Tiga peraturan tersebut dan hiruk-pikuk persiapan REDD jadi tema lokakarya Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) di Bogor pada 27-28 Maret 2010. Lokakarya ini mengundang pengurus Walhi di daerah dan jurnalis yang sering meliput isu-isu lingkungan hidup. "Belum ada peraturan perundang-undangan yang jelas soal REDD ini," kata Harry Alexander, SH, LLM, dari World Conservation Society.
Tiga peraturan Menteri Kehutanan itu bukanlah undang-undang dan tidak memiliki kekuatan hukum. Harry mengusulkan agar kita melihat undang-undang yang ada untuk menafsirkan skema ini, seperti Undang-Undang Agraria, Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Selain itu, kata Harry, perjanjian REDD berdimensi internasional. Menurut dia, kontrak bisnis internasional berkaitan dengan REDD umumnya berbeda dengan perjanjian internasional (publik). Dia mencontohkan perjanjian REDD untuk proyek di Ulu Masen, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ada International VER Purchase Contract, International Underwriting Agreement, Joint Venture Agreement, dan International Loan Agreement.
Proyek di Ulu Masen ini, Harry menambahkan, sekarang menghadapi kendala. Maklum, Merril Lynch International selaku investment bank yang membeli karbon hutan senilai US$ 10 juta sedang menghadapi masalah. Tak hanya itu, para broker internasional juga sudah masuk ke sejumlah kabupaten untuk membeli secara ijon karbon hutan.
Harry juga menelaah bahwa kontrak REDD yang telah ditandatangani ternyata melibatkan perusahaan dan lembaga konservasi internasional yang besar. "Tak ada kepemilikan komunitas di perjanjian ini," katanya. Dia juga khawatir terhadap minimnya sumber daya manusia yang memahami isu perdagangan karbon. Baik di kalangan pengacara dalam negeri, hakim, maupun aparat penegak hukum.
Kekhawatiran yang sama disampaikan Meine van Noordwijk, peneliti World Agroforestry Center, yang jadi pembicara di Lokakarya Walhi tentang REDD. Menurut dia, pembicaraan tentang REDD sudah berlebihan dan melenceng. "Karena karbon cuma satu elemen dari hutan," katanya.
Noordwijk menilai program tersebut hanya didekati dari kacamata ekonomi. Pemerintah terlalu berharap pada uang yang bakal masuk dari donor internasional. Harapan senada muncul dari perusahaan swasta dan lembaga konservasi. Alhasil, REDD hanya direduksi pada sisi ekonomi dan Indonesia jadi bergantung pada pihak luar. "Akhirnya REDD tergelincir jadi skema palsu," katanya.
Jauh lebih penting dan progresif, Noordwijk menambahkan, adalah membicarakan National Appropriate Mitigation Actions. Menurut dia, beberapa kelompok masyarakat di Tanah Air telah melakukan upaya mitigasi perubahan iklim. Misalnya warga Desa Lubuk Beringin di Jambi yang berhasil menjaga hutan dan mengurangi emisi karbon dioksida. "Tidak ada uang dari luar yang masuk." Aktivitas di tingkat lokal ini, katanya, harus dikembangkan di daerah lainnya.
Norman Jiwa dari Sawit Watch meminta pemerintah, sebelum mengimplementasikan REDD, terlebih dulu menjalankan mandat konstitusi, yakni mengakui hak konstitusi rakyat di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. "Karena REDD merupakan konspirasi dari bisnis konservasi skala internasional," katanya.
UNTUNG WIDYANTO