TEMPO Interaktif, Jakarta - Reducing emission from deforestation and degradation (REDD) jadi isu yang hangat dibicarakan di Indonesia setelah Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007 dilaksanakan. Skema ini dapat diartikan sebagai pemberian insentif atau kompensasi finansial kepada negara-negara yang berkeinginan dan mampu mengurangi emisi dari deforestasi.
Skema ini muncul sebagai alternatif baru dalam kerangka negosiasi mitigasi atau pengurangan gas-gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Karena ada konsep finansial, pejabat pusat hingga kepala desa atau kampung ramai-ramai membincangkan hal itu.
Meine van Noordwijk, Southeast Asia Regional Coordinator World Agroforestry Center (ICRAF-International Center for Research in Agroforestry), khawatir terhadap kecenderungan itu. Berikut ini wawancara dengan Noordwijk, dosen tidak tetap Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya sejak 1986, dengan Tempo pada Sabtu (27/3) di Bogor:
T: Anda mengatakan REDD di Indonesia sebagai konsep palsu. Apa maksudnya?
J: Pertama, pembicaraan tentang REDD terlalu berfokus pada uang. Kedua, belum cukup terlihat responsibilitas pihak Indonesia mengurangi emisi. Ketiga, konsep skema REDD belum memperhatikan isu keadilan. Keempat, Indonesia terlalu bergantung pada lembaga asing dalam hal pendanaan pada proyek REDD. Padahal hutan tidak hanya karbon, masih ada aspek hidrologi, biodiversity, dan mata pencarian masyarakat.
T: Mengapa hal itu bisa terjadi?
J: REDD seharusnya menggabungkan konsep efisiensi dan keadilan. Sayangnya, kita terlalu berfokus pada konsep atau isu efisiensi, sehingga terjebak pada konsep REDD yang palsu.
T: Apa perbedaan di antara dua konsep itu?
J: Konsep keadilan merujuk pada inisiatif lokal, berpikir dalam jangka panjang, dan menghargai kearifan lokal. Solusi lokal ini memasukkan konsep adaptasi perubahan iklim bagi warga sekitar. Berbeda dengan konsep efisiensi, yang pertama-tama bicara soal ancaman. Jika tidak ada ancaman, tak ada uang. Ancaman terhadap hutan alam dan kondisi lingkungan. Untuk mendapatkan uang, mereka menaikkan tingkat ancaman.
T: Adakah kaitannya dengan mekanisme pasar bebas?
J: Jelas ada. Pada pasar bebas, kita dapat menjual ke siapa pun juga, namun yang punya bargaining position kuat, dia yang menang. Nah, ancaman jadi salah satu bargaining position.
T: Apakah dengan demikian mekanisme pasar bebas tidak dapat diberlakukan untuk isu lingkungan?
J: Saya tidak anti-pasar. Namun sulit sekali memberlakukan mekanisme pasar untuk isu lingkungan. Kalau harga 1 kilogram mangga atau durian itu jelas. Namun, kalau lingkungan, belum ada yang bisa menjelaskan harga satu unit lingkungan.
T: Bagaimana dengan pasar karbon?
J: Hati-hati, bisa-bisa tidak ada keadilan. Banyak pihak belum mengerti, terlebih lagi masyarakat pedesaan atau lokal. Mereka tidak mengerti unit trade dan terlebih lagi banyak sertifikat palsu beredar di pasar karbon.
T: Bagaimana mengatasi persoalan ini?
J: Kita harus bisa menyeimbangkan antara konsep efisiensi dan keadilan. Perlu ada ko-investasi. Tiap investor memasukkan uangnya untuk diinvestasikan bersama pihak lain guna mendapatkan hasil bersama. Jadi ada benefit sharing, yang lokal dapat uang dan knowledge. Begitu juga pihak luar. Karena itu, lebih baik bicara profit sharing atau joint investasi karena tidak hanya bicara keuntungan finansial, tapi juga kultural dan social capital.
T: Bagaimana dengan masyarakat?
J: Banyak kelompok masyarakat Indonesia sudah melakukan upaya mitigasi (mengurangi) gas-gas rumah kaca. Misalnya warga Desa Lubuk Beringin di Jambi, yang berhasil menjaga hutan dan mengurangi emisi karbon dioksida. Mereka tidak meminta bantuan dari luar. Aktivitas di tingkat lokal ini harus dikembangkan di daerah lainnya.
UNTUNG WIDYANTO