TEMPO Interaktif, Jakarta - Mampukah (gurun) Sahara menerangi Eropa? Itu judul yang dipilih Duncan Graham-Rowe, kontributor The Economist dan The Guardian dua media terbitan Inggris, tentang proyek pembangkit listrik tenaga surya di gurun Sahara, benua Afrika, bernama Desertec Industrial Initiative yang dikerjakan oleh kontraktor-kontaktor energi Eropa macam Siemens dan Eon.
Graham-Rowe mewawancarai beberapa praktisi untuk menjawab dua pertanyaan pokok; bisakah energi itu dijual dengan murah dan tersedia sepanjang hari, saat malam sekalipun?
Jawabannya bisa, penjelasannya ada di bawah ini.
Di seluruh permukaan bumi yang terpampang bagi sinar matahari yang disebut dengan istilah sunbelts, utamanya khatulistiwa, cahaya matahari adalah energi yang terbuang percuma sejak matahari terbit sampai terbenam.
Adalah orang Eropa yang lagi-lagi menangkap potensi itu dengan membangkitkan kembali wacana energi surya dari kubur. Lonjakan harga minyak dari sekitar US$15 per barrel mendekati US$40 per barrel pada pertengahan 1970-an hingga awal 80-an pernah melahirkan ide itu, karena kepanikan negara-tanpa sumber daya minyak.
Tapi setelah harga minyak berangsur turun wacana itu pun masuk tong sampah karena dianggap masih lebih mahal ketimbang hidrokarbon dan ketakutan produsen minyak, minimal untuk pasar dunia. Karena nyatanya konsep itu dipakai oleh negara maju untuk mengoperasikan stasiun antariksa serta satelit-satelit mereka.
Sekarang saat harga naik dari kisaran 60 menjadi 140-an dolar per barel, proyek itu kembali dihidupkan.
Keith Bowen Direktur Rancang Bangun Circadian Solar (Inggris) mengatakan energi matahari memiliki dua keunggulan, efisiensi dan skala ekonomis. "Dua puluh tahun lalu efisiensi konversi energi matahari menjadi listrik hanya 15 - 20 persen dibanding energi dari fosil tapi sekarang efisiensi matahari meningkat menjadi 40 persen."
Lalu "Skala (ekonomis)nya juga sangat baik." Semakin besar pembangkit listrik tenaga surya semakin murah biaya produksinya."
Keterbatasan lain dari energi matahari adalah matahari tidak bersinar sepanjang hari, walaupun keterbatasan yang sama dimiliki oleh pembangkit angin namun sudah ratusan tahun dipakai di Belanda.
Tapi proyek Desertec punya pemecahannya. Menurut Bowen dengan konsep pembangkit tenaga surya yang lebih maju yang direncanakan di Sahara, energi panas matahari bisa disimpan dalam air. Dengan memanaskan air hingga ratusan derajat celsius selama matahari bersinar, uapnya bisa dimanfaatkan sepanjang malam untuk menggerakkan turbin yang akan membangkitkan listrik.
Lalu tunggu apalagi?
Masih soal harga, koordinator Desertec untuk Inggris Gerry Wolff mengatakan harga listrik matahari yang dihasilkan oleh proyek itu akan berkisar US10 - 20 sen dibanding dengan gas yang masih US5 sen per kilowatt jam. Karena itu investasi untuk bidang itu terbilang seret.
Tetapi Wolff mengatakan berdasarkan tiga penelitian industri dirgantara Jerman biaya itu akan berangsur turun hingga menjadi sumber energi termurah di Eropa pada tahun 2017, saat energi itu mulai dimanfaatkan secara massal, seperti halnya tarif komunikasi seluler.
Tidak jarang, di negara tropis, umpatan muncul bila cahayanya terlalu terik dan banyak yang mencoba meredam energi itu dengan energi lain. Listrik diboroskan untuk pendingin udara sementara sebagian pekerja masih ada yang menggunakan jas. Sebagian sudah memanfaatkannya untuk pemanas air, sebagian lagi untuk mengawetkan ikan, tapi sebenarnya masih banyak manfaat lain dari sinar matahari.
GREEN FUTURES | RONALD