Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menyiasati Pengukuran Emisi Gas Rumah Kaca

image-gnews
Pesawat NOAA untuk mengukur emisi gas-gas rumah kaca
Pesawat NOAA untuk mengukur emisi gas-gas rumah kaca
Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta - Tiga pesawat terbang milik National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) hilir mudik di atas negara bagian California. Bukan aksi unjuk pamer yang mereka lakukan, melainkan mengukur gas-gas rumah kaca di wilayah yang dipimpin Gubernur Arnold Schwarzenegger itu.

Memang, sejak awal Mei hingga Juli, California menjadi taman bermain raksasa bagi 200 ahli atmosfer. Para ilmuwan mencatat data yang dihasilkan tiga pesawat NOAA yang membelah langit di atas kawasan industri, daerah pertanian, dan wilayah kota lainnya. Sebagian di antara mereka berada di dua stasiun cuaca dan lainnya di dalam mobil keliling yang dilengkapi peralatan canggih untuk mendapatkan hasil sampel.

Proyek penelitian CalNex ini diselenggarakan California Air Resources Board dan NOAA, yang bermarkas di Boulder, Colorado. Para ilmuwan berencana mempelajari berbagai masalah yang berhubungan dengan kualitas udara dan pemanasan global. Namun salah satu tujuan utamanya adalah mendapatkan data dan metode untuk mengatasi ketidakpastian dalam pencatatan emisi gas-gas rumah kaca.

Persoalan ini jadi isu global, tidak hanya untuk negara bagian California. Maklum, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mewajibkan setiap pihak atau negara melaporkan emisi gas rumah kaca setiap tahunnya. Komunitas global juga sepakat untuk mengurangi emisi sampai 80 persen.

Namun angka-angka yang dilaporkan ke UNFCCC meragukan. Penaksir independen memperkirakan jumlah yang dilaporkan cuma 50 persen. Alhasil, jika perjanjian iklim punya kredibilitas tinggi, ilmuwan dan pemerintah harus mengembangkan sistem yang andal untuk memverifikasi emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.

"Banyak negara cenderung melaporkan hal-hal yang terlihat bagus dan tidak ada yang dapat membuktikan bahwa itu salah, kecuali kita meneliti atmosfer mereka," kata Ingeborg Levin, fisikawan atmosfer dari University of Heidelberg di Jerman.

Levin adalah salah satu dari sejumlah ilmuwan yang mengembangkan jaringan sampel udara (air-sampling network), model komputer, dan satelit untuk menelaah asal-usul serta jumlah emisi gas rumah kaca. Dia melihat program CalNex California sebagai model yang menarik. Pemerintah, katanya, harus bekerja dengan ilmuwan untuk mengurangi ketidakpastian dan mendapatkan data akurat dalam persediaan emisi mereka. Langkah ini harus menjadi upaya terpadu antara orang yang melakukan simpanan stok (inventories) dan masyarakat yang melakukan pengukuran. Dengan mengetahui simpanan, dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di negara sumber emisi.

Pada Maret lalu, US National Research Council (NRC) mengajak negara-negara industri mengetahui simpanan stok dan bersama-sama melakukan pemantauan. Lembaga ini memperkirakan biaya yang dibutuhkan hanya US$ 11 juta selama lima tahun untuk meningkatkan sistem pelaporan gas rumah kaca pada 10 negara- negara berkembang terbesar yang tidak diwajibkan melaporkan emisinya. Copenhagen Accord 2009 memang menyepakati sistem MRV (measurement, reporting, and verification), namun negosiasi masih dilakukan tentang struktur sistem verifikasi.

Memang sebagian besar fokus saat ini pada emisi bahan bakar fosil, yang jumlahnya lebih dari separuh volume gas-gas rumah kaca global. Emisi karbon dioksida ini paling mudah dihitung, misalnya dari konsumsi bahan bakar suatu negara. Di negara-negara maju, statistik data tersebut dapat diandalkan meskipun masih ada masalah dalam hal aspek perawatan. Sebaliknya, di negara berkembang, data konsumsi bahan bakar fosilnya meragukan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kami membuat dompet sutra dengan menabur 'telinga'," kata Gregg Marland, ilmuwan Departemen Energi pada Carbon Dioxide Information Analysis Center (CDIAC) di Oak Ridge, Tennessee. Bukan apa-apa, perbedaan 5-10 persen menjadi signifikan karena banyak negara yang berusaha mengurangi emisi mereka dengan besaran serupa dalam beberapa tahun berikutnya.

Berdasarkan data dari PBB, CDIAC memperkirakan emisi karbon dioksida global pada 2006 sebesar 30.200.000.000 ton. Ini tidak termasuk perubahan dari alih guna lahan. Memang Marland mengatakan ketidakpastian data itu 6-10 persen. Dalam upaya meningkatkan akurasi, ilmuwan mendesak pemerintah memperluas pemantauan jaringan. NOAA saat ini jadi koordinator jaringan 150 stasiun pemantauan gas rumah kaca di seluruh dunia.

Pada 1957, Charles Keeling merupakan orang pertama yang melakukan pengukuran karbon dioksida di atmosfer. Dia mengukur pada November 1957 di Mauna Loa Observatory di Hawaii. Lokasi itu sengaja dipilih karena udara masih bersih dari polusi. Alhasil, banyak stasiun didirikan di luar kota. Kini kecenderungannya berlawanan, stasiun didirikan di tengah kota, dekat lokasi industri dan daerah pertanian.

Di Eropa, para ilmuwan mendorong Integrated Carbon Observation System (ICOS), yang mentargetkan adanya konversi 50 stasiun pemantauan independen pada 2014. Mereka juga akan menambah 20 stasiun lainnya untuk memberi resolusi yang lebih baik di daerah kunci. Proyek ICOS ini akan menelan biaya US$ 200-266 juta.

Pada proyek CalNex, pesawat NOAA mengambil sampel di atas industri kilang minyak, pembangkit listrik, dan lahan pertanian. Di Los Angeles, target mereka adalah gas metana karena negara bagian California sebelumnya membangun persediaan gas menggunakan standar yang direkomendasikan Intergovernmental Panel on Climate Change. Ternyata studi terbaru menunjukkan bahwa emisi yang sebenarnya terjadi adalah sepertiga lebih tinggi dari yang diperkirakan.


UNTUNG WIDYANTO [NATURE.COM]

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

2 hari lalu

Warga beraktivitas di pinggir Waduk Cacaban, Kedung Banteng, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa, 11 September 2018. Akibat musim kemarau tahun ini, volume air di salah satu waduk penyuplai di wilayah Pantura itu menyusut hingga lebih dari puluhan meter sehingga mengancam kekeringan, terutama persawahan di sejumlah wilayah itu. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah
Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

Fenomena penguapan air dari tanah akan menggerus sumber daya air di masyarakat. Rawan terjadi saat kemarau.


Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

9 hari lalu

Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto mengecek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur, Senin (18/3/2024), yang direncanakan menjadi lokasi upacara HUT Ke-79 RI pada 17 Agustus 2024. ANTARA/HO-Biro Humas Setjen Kemhan RI.
Masyarakat Adat di IKN Nusantara Terimpit Rencana Penggusuran dan Dampak Krisis Iklim, Begini Sebaran Wilayah Mereka

AMAN mengidentifikasi belasan masyarakat adat di IKN Nusantara dan sekitarnya. Mereka terancam rencana investasi proyek IKN dan dampak krisis iklim.


13 Persen Resort Ski Dunia Diprediksi Gundul dari Salju Pada 2100

9 hari lalu

Australia dalam sepekan harus menyiapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus corona di resor ski. Foto: @thredboresort
13 Persen Resort Ski Dunia Diprediksi Gundul dari Salju Pada 2100

Studi hujan salju di masa depan mengungkap ladang ski dipaksa naik ke dataran lebih tinggi dan terpencil. Ekosistem pegunungan semakin terancam.


Studi Terbaru: IKN Nusantara dan Wilayah Lain di Kalimantan Terancam Kekeringan Ekstrem pada 2050

10 hari lalu

Pekerja menyelesaikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis 15 Februari 2024. Pembangunan PLTS tersebut untuk fase pertama sebesar 10 megawatt (MW) dari total kapasitas 50 MW yang akan menyuplai energi terbarukan untuk IKN dan akan beroperasi pada 29 Pebruari 2024. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Studi Terbaru: IKN Nusantara dan Wilayah Lain di Kalimantan Terancam Kekeringan Ekstrem pada 2050

Kajian peneliti BRIN menunjukkan potensi kekeringan esktrem di IKN Nusantara dan wilayah lainnya di Kalimantan pada 2033-2050. Dipicu perubahan iklim.


Suhu Udara Global: Bumi Baru Saja Melalui Februari yang Terpanas

18 hari lalu

Kebakaran hutan membakar area di Santa Juana, dekat Concepcion, Cile, 4 Februari 2023. REUTERS/Ailen Diaz
Suhu Udara Global: Bumi Baru Saja Melalui Februari yang Terpanas

Rekor bulan terpanas kesembilan berturut-turut sejak Juli lalu. Pertengahan tahun ini diprediksi La Nina akan hadir. Suhu udara langsung mendingin?


Benarkah Pemanasan Global Sudah Tembus Batas 1,5 Derajat Celsius?

45 hari lalu

Seorang warga berjalan di dekat instalasi
Benarkah Pemanasan Global Sudah Tembus Batas 1,5 Derajat Celsius?

Januari 2024 lalu adalah rekor baru pemanasan global untuk suhu rata-rata bulanan.


Cuaca Ekstrem Bukan Fenomena Alam Biasa, Peneliti BRIN Usul Dibentuk Komite Khusus

55 hari lalu

Sejumlah petugas memotong pohon yang tumbang menimpa salah satu rumah karena diterjang gelombang kencang akibat badai Siklon tropis Seroja di Kota Kupang, NTT, Kamis, 8 April 2021. ANTARA/Kornelis Kaha
Cuaca Ekstrem Bukan Fenomena Alam Biasa, Peneliti BRIN Usul Dibentuk Komite Khusus

Cuaca ekstrem harus dilihat dalam perspektif perubahan iklim global.


Mahfud MD Soroti Deforestasi, 5 Dampak Buruk Penggundulan Hutan yang Sudah Terjadi

23 Januari 2024

Pemandangan udara terlihat dari kawasan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, 6 Juli 2010. REUTERS/Crack Palinggi/File Foto
Mahfud MD Soroti Deforestasi, 5 Dampak Buruk Penggundulan Hutan yang Sudah Terjadi

Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD menyebut deforestasi di Indonesia lebih luas dari Negara Korea Selatan. Apa saja dampak buruk yang sudah terjadi?


Valerina Daniel, Moderator Debat Capres dalam Eksperimen Pemanasan Global

10 Desember 2023

Valerina Daniel/Foto: Instagram/Valerina Daniel
Valerina Daniel, Moderator Debat Capres dalam Eksperimen Pemanasan Global

KPU menetapkan Valerina Daniel menjadi moderator debat pertama capres-cawapres. Aktivis lingkungan dan pembuat eksperimen pemanasan global.


Hasil COP28: Aliansi Perusahaan Produk Susu Terbesar di Dunia Sepakat Kurangi Emisi Metana

6 Desember 2023

Logo 'Cop28 UEA' ditampilkan di layar saat upacara pembukaan Pekan Keberlanjutan Abu Dhabi (ADSW) bertema 'Bersatu dalam Aksi Iklim Menuju COP28', di Abu Dhabi, UEA, 16 Januari 2023. REUTERS/Rula Rouhana
Hasil COP28: Aliansi Perusahaan Produk Susu Terbesar di Dunia Sepakat Kurangi Emisi Metana

Dari Danone hingga Nestle, enam perusahaan produk susu terbesar di dunia yang tergabung dalam aliansi hasil COP28 sepakat