Salah satu tekniknya menggunakan isotop radioaktif karbon-14, yang dapat menelisik jejak karbon dioksida di atmosfer. Isotop jenis ini ternyata dikeluarkan oleh tanaman yang terkubur selama jutaan tahun, bukan oleh bahan bakar fosil. Dengan mengambil sampel udara dan mengukur isi karbon-14, peneliti dapat mengetahui berapa banyak karbon dioksida yang berasal dari biosfer dan dari emisi bahan bakar fosil.
"Jika Anda melakukan ini dalam skala besar, hal itu benar-benar menajamkan pandangan kita soal biosfer," kata Pieter Tans, ilmuwan senior NOAA Earth System Research Laboratory di Boulder. Levin secara teratur mengukur muatan karbon-14 dalam sampel udara di Jerman menggunakan Geiger. Sedangkan Tans dan kawan-kawan belum lama ini menggunakan spektrometri. Komite NRC merekomendasikan biaya pengukuran tahunan karbon-14 di seluruh dunia sebesar US$ 5-10 juta.
Saat ini ilmuwan AS dan Jepang sibuk menafsirkan data awal dari satelit Jepang, dan NASA berencana meluncurkan versi kedua Orbiting Carbon Observatory pada 2013. Prancis saat ini juga mengembangkan satelit sejenis. "Jika Anda ingin tahu apakah ada perubahan emisi dari 2010 sampai 2020, kita harus melakukan pengukuran sekarang."
Banyak satelit dipakai karena pengukurannya lebih andal untuk memverifikasi emisi gas rumah kaca. "Semua orang dapat melihat emisi orang lain dengan cara yang sangat transparan," kata Philippe Ciais, Koordinator ICOS dan Direktur Laboratorium for Climate Sciences and the Environment di Gif-sur-Yvette, Prancis.
Pemantauan dan pengendalian karbon dioksida memang akan jadi satu bagian dari perjanjian iklim di masa mendatang. Gas seperti metana, asam nitrat, dan berbagai senyawa yang mengandung florida memiliki efek pemanasan yang kuat dan harus dipantau. Komisi Eropa dan Netherlands Environment Assessment Agency bekerja sama untuk membuat emisi gas-gas rumah kaca lebih rendah.
Emissions Database for Global Atmospheric Research (EDGAR) mengumpulkan inventori secara internasional dan nasional. Di Universitas Heidelberg, Levin menggunakan kajian EDGAR dan pengukuran langsung dari 14 lokasi di seluruh dunia untuk menghitung emisi heksaflorida sulfur (SF6). Ini merupakan insulator yang tahan api yang digunakan dalam peralatan listrik.
Molekul SF6 memiliki panas hampir 24 ribu kali kekuatan sebuah molekul karbon dioksida dan tetap dalam kondisi itu sekitar 3.200 tahun. Artinya, semua SF6 pernah dipancarkan oleh manusia. Penelitian Levin menunjukkan bahwa emisi SF6 oleh negara-negara industri ternyata dua kali lebih tinggi ketimbang yang disampaikan kepada UNFCCC.
Temuan itu menunjukkan adanya "perangkap" dari laporan negara industri. Menurut Levin, jika Anda ingin tahu apakah ada perubahan dalam emisi sepanjang 2010-2020, kita harus melakukan pengukuran saat ini juga. "Aku tidak bisa keluar hari ini untuk mendapatkan kualitas udara Heidelberg pada September tahun lalu. Udara itu telah lenyap."
UNTUNG WIDYANTO (NATURE.COM)