TEMPO Interaktif, Tanegashima - Sebuah wahana antariksa baru Jepang diluncurkan ke Venus pada hari ini. Wahana pengorbit planet paling terang itu akan membantu memecahkan misteri planet kembaran bumi yang selalu diliputi awan asam sulfur tebal tersebut.
Wahana iklim pengorbit Venus itu dinamai Akatsuki, yang berarti subuh atau dinihari dalam bahasa Jepang, diluncurkan dari Tanegashima Space Center di Jepang pada Selasa pagi waktu setempat. Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA) menyatakan nama itu dipilih karena Venus bersinar paling terang seperti bintang pagi beberapa saat sebelum matahari terbit.
Selama dua tahun, Akatsuki akan menjalankan misi untuk mempelajari cuaca dan permukaan Venus secara detail. "Begitu kami dapat menjelaskan struktur Venus, kami akan bisa memahami bumi dengan lebih baik," kata Takeshi Imamura, ilmuwan proyek Akatsuki dalam pernyataan yang dirilis oleh JAXA. "Misalnya, kami mungkin dapat menemukan alasan mengapa hanya bumi yang mampu mempertahankan samudra, dan mengapa hanya di bumi kehidupan bisa begitu berlimpah."
Akatsuki, menurut Imamura, adalah wahana penyelidik antarplanet pertama di dunia yang layak disebut sebagai satelit meteorologi. Wahana robotik seberat 480 kilogram itu membawa lima kamera berbeda untuk mempelajari awan Venus, sekaligus memetakan cuaca planet itu dan mengintip permukaan planet lewat atmosfer tebalnya.
Satelit itu akan bergabung dengan wahana Venus Express milik Eropa yang telah terlebih dulu mengorbit di sekitar planet batu itu. "Venus kini telah bertransformasi dari sebuah tempat yang mirip bumi menjadi tempat asing, dan apa yang menarik tentang planet itu adalah mengetahui bagaimana dia berbeda dari bumi dan sejarah di balik apa yang terjadi," kata David Grinspoon, kurator astrobiologi di Denver Museum of Nature and Science, ilmuwan dalam misi Venus Express. "Dia dapat membantu kita memahami bagaimana bumi mungkin berubah kelak."
Akatsuki akan meluncur di puncak sebuah roket Jepang H-2A. Dalam misi itu, Akatsuki tidak sendirian karena JAXA juga meluncurkan sejumlah satelit eksperimen yang lebih kecil, termasuk Ikaros, sebuah layar surya yang khusus dirancang untuk membuntuti perjalanan Akatsuki ke Venus. Jika layar polyimide, yang masih dalam taraf percobaan, itu sukses, JAXA akan membuat satelit berbentuk layang-layang itu dalam ukuran yang jauh lebih besar untuk berlayar ke Jupiter.
Salah satu target utama Akatsuki adalah untuk memahami misteri terbesar Venus, yaitu rotasi super atmosfernya. Berbeda dengan atmosfer bumi yang "ramah", Venus memiliki atmosfer berupa angin kencang yang mendorong awan dan badai mengelilingi planet itu dengan kecepatan lebih dari 360 kilometer per jam, atau hampir 60 kali lipat lebih cepat daripada rotasi planet itu sendiri.
"Tak ada model iklim Venus konsisten yang dapat meniru superrotasi itu," kata Grinspoon. "Kami mengambil pemodelan sirkulasi umum dari bumi dan mengutak-atiknya agar sesuai dengan Venus, tapi pemodelan itu tidak cocok. Dengan lebih memahami bagaimana iklim Venus bekerja, itu akan membantu kami mengetahui bagaimana perubahan iklim bumi berlangsung."
Akatsuki akan memonitor Venus dalam sinar inframerah untuk lebih banyak mempelajari atmosfer dan permukaannya di bawah awan tebal tersebut, dan diharapkan dapat mengungkap mekanisme yang mendorong superrotasi itu. Namun Imamura mengatakan timnya telah siap dikejutkan oleh penemuan tak terduga yang mungkin bakal menguak lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. "Kami akan amat senang dikagetkan oleh munculnya misteri yang jauh lebih besar daripada superrotasi," ujarnya.
Wahana Venus Express milik Badan Antariksa Eropa (ESA) yang diluncurkan pada 2005 sudah lebih dulu menemukan misteri baru Venus. Satelit itu menemukan bukti adanya kilat di planet tersebut, sesuatu yang seharusnya tidak mungkin terjadi di Venus. "Apa yang menciptakan kilat di bumi adalah butiran air dan kristal es di awan, yang memicu terjadinya pemisahan muatan listrik yang diperlukan kilat, dan cuaca semacam itu tak dijumpai di Venus," kata Grinspoon.
Venus memang memiliki awan tebal, tapi awannya tersusun dari asam sulfur, bukan air dan kristal es. "Mungkin ada sejenis cuaca yang belum pernah kami lihat di Venus, yang menyebabkan kilat itu, atau mungkin kami keliru soal kondisi yang diperlukan untuk melahirkan sebuah kilat," ujarnya.
Akatsuki akan dapat menangkap petunjuk vital tentang kilat itu dengan sebuah kamera yang khusus dirancang untuk mengabadikannya.
Target lain yang diemban oleh Akatsuki adalah menyelidiki garis aneh yang terdapat di lapisan teratas awan Venus, yang dijuluki "blue absorber" karena mereka menyerap cahaya dalam panjang gelombang biru dan ultraviolet dengan amat kuat. Alat pencitra ultraviolet Akatsuki diharapkan bisa menyelidiki garis ganjil itu.
Garis itu amat menarik perhatian para ilmuwan karena aksi tersebut menyerap energi dalam jumlah besar, hampir separuh total energi surya yang diserap Venus. Tampaknya penyerapan itu memainkan peran utama dalam menjaga Venus tetap seperti saat ini, dengan temperatur permukaan lebih dari 460 derajat Celsius. "Kami tak tahu zat apa itu," kata Grinspoon. "Kemungkinan itu adalah sejenis senyawa sulfur, tapi kami belum dapat mengungkapnya hingga saat ini."
Misteri lain yang menanti Akatsuki adalah kabut terang yang tiba-tiba menutupi dua per tiga belahan bumi selatan Venus pada 2007. Kabut itu mendadak lenyap beberapa hari kemudian. Belum diketahui apa yang memicu perubahan tersebut. "Kami menduga itu adalah semacam dinamika perputaran atmosfer yang menyuntikkan sulfur dioksida di atas awan, tapi kami belum bisa memastikannya," ujar Grinspoon.
Awan itu kemungkinan memperoleh pasokan energi dari sulfur yang dimuntahkan gunung-gunung berapi di Venus karena Grinspoon menduga sulfur yang terlihat di atmosfer seharusnya terurai setelah 10 hingga 30 juta tahun. Namun awan Venus begitu tebal dan tak pernah ada yang melihat keberadaan gunung berapi di planet itu sehingga para ilmuwan dalam proyek Akatsuki berharap kamera satelit itu bisa menemukan gunung api aktif di balik awan tersebut. "Venus menjaga rahasianya rapat-rapat, dalam sebuah kondisi yang tak bisa ditembus," katanya.
TJANDRA DEWI | SPACE | JAXA | NATURE