TEMPO Interaktif, BOGOR - Pakar ekologi hutan Dr. Kuswata Kartawinata mengatakan perjalanan ekpedisi yang dilakukan pada awal abad 17 oleh Pemerintah Hindia Belanda menjadi modal literatur untuk menelusuri keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. “Pemerintah Hindia Belanda sangat concern untuk melakukan ekpedisi dan mencatat penemuan serta mengelompokkan berbagai jeinis keanekaragaman hayati," kata Kuswata hari ini.
Dalam diskusi Boidversitas Internasional 2010 dan Tahun Kunjungan Museum Indonesia, Kuswata menjabarkan ekspedisi penting yang dilakukan Kerajaan Belanda di sejumlah tempat di tanah air. "Ekspedisi itu menghasilkan data yang konprehensif dan dapat dijadikan pijakan untuk penelitian selanjutnya," ujarnya. Salah satu ekspedisi yang dilakukan Belanda, kata dia, misalnya menginfentarisasi jenis flora dan fauna dari berbagai daerah di Indonesia.
Bukti kongkrit dari ekpedisi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, menurut dia, adanya Kebun Raya Bogor serta Kebun Raya Cibodas yang menginfentarisi berbagai jenis hayati. Pemerintah Belanda melakukan ekspedisi untuk menemukan tempat yang ideal bagi tanaman sayur yang biasa di konsumsi oleh masyarakat Belanda. "Setelah melakukan ekpedisi di sejumlah tempat pada tahun 1840, ditetapkan wilayah Gunung Gede Pangrango khususnya di Cibodas serta Cipanas merupakan areal untuk menanam sayuran,” katanya. “Itu masih berlangsung hingga sekarang.”
Kuswata menjelaskan, pada saat itu wilayah Gede Pangrango merupakan surga bagi para peneliti hayati dengan pusat penelitian yang dikonsentrasikan di Cipanas. Namun setelah Indonesia merdeka, justru tidak pernah dilakukan penelitian lagi di kawasan tersebut. "Terakhir penelitian di wilayah itu (Cibodas dan Cipanas) pada tahun 1933, jadi sudah 80 tahun lalu," katanya.
Penelitian di wilayah itu, lanjut Kuswata untuk mengetahui bagaimana perubahan iklim yang mempengaruhi keanekaragaman hayati. "Apakah serangga yang dulu ditemukan di wilayah itu masih ada sekarang? Kondisi itu belum terungkap," ujarnya menyesalkan.
Pada kesempatan yang sama Guru Beasar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Sri Baniati Komar Prajoga menyatakan keprihatinannya karena sedikit sekali penambahan literatur hayati yang dilakukan oleh peneliti tanah air. Oleh karenanya, menurut dia, tidak heran banyak peneliti justeru “lari” ke luar negeri untuk mencari literatur kekayaan hayati yang ada di tanah air. “Sangat disayangkan untuk mengetahui khasanah hayati sendiri, kita harus ke Belanda," katanya.
Diki Sudrajat