TEMPO Interaktif, Jakarta - Dengan lengkingannya yang khas, PM Toh, pendongeng asal Aceh, membawakan monolog Kisah Sang Rangkong dalam resepsi Program Pemulihan Ekosistem Hutan di Harapan Rainforest di Hotel Mulia akhir pekan lalu. Dalam monolog itu, PM Toh menceritakan bagaimana burung yang tinggal di pucuk-pucuk pohon besar itu menebarkan benih lewat biji-bijian buah yang dimakannya. Dari biji-biji yang tersebar hingga berkilometer jauhnya dari pohon asalnya, tumbuhlah pohon yang akhirnya memenuhi hutan.
Dari perilaku itulah burung berparuh besar yang unik tersebut mendapat julukan "petani hutan tropis". "Tak ada burung kalau tak ada hutan. Tak ada hutan kalau tak ada si burung rangkong," kata PM Toh.
Baca Juga:
Kepedulian terhadap nasib rangkong dan burung serta binatang lain yang hidup di hutan itu menggugah Burung Indonesia, sebagai organisasi nirlaba dengan misi konservasi burung liar di habitatnya, untuk melakukan pengelolaan hutan. Lewat kebijakan nasional restorasi ekosistem, sekitar 100 ribu hektare kawasan bekas hutan produksi yang terletak di Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi akan dikembalikan ke kondisi aslinya.
"Mudah-mudahan kawasan yang kami lestarikan ini mempunyai keanekaragaman burung yang luas," kata Ani Mardiastuti, Ketua Dewan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia. "Kawasan itu kaya spesies mamalia, burung, amfibi, dan ikan."
Direktur PT Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (REKI) Effendy A. Sumardja berharap restorasi ekosistem Harapan Rainforest ini akan menjadi model pembangunan berkelanjutan bagi pengelolaan pelestarian hutan Indonesia di masa mendatang. "Ini belum final, kami masih harus bekerja keras," ujarnya.
Harapan Rainforest adalah tempat tinggal berbagai jenis mamalia, semisal harimau Sumatera, gajah Asia, beruang madu, simpai, tapir, siamang, macan dahan, ungko, kukang, dan anjing hutan. Seluruh spesies mamalia itu saat ini terancam punah. Hutan hujan dataran rendah itu juga rumah bagi hampir 300 jenis burung dataran rendah, termasuk delapan jenis yang terancam punah secara global dan 69 jenis yang mendekati kepunahan. Meskipun telah mengalami kerusakan, sebagian besar jenis keanekaragaman hayati masih dapat ditemukan di habitat ini.
Upaya merestorasi Harapan Rainforest tak semudah reboisasi atau penanaman kembali hutan gundul. Melalui PT REKI, Burung Indonesia menargetkan dalam waktu 20 tahun bisa memulihkan kondisi Harapan Rainforest, yang kini 45 persen sangat terdegradasi dan hanya 15 persen yang masih bagus.
"Hingga sekarang, teknik restorasi ekosistem belum ada, kami harus mempelajarinya sendiri," kata Sukianto Lusli, mantan Direktur Eksekutif Burung Indonesia, yang kini berkiprah di PT Habitat Burung Indonesia, yang akan mengelola restorasi ekosistem di hutan Gorontalo. "Kami berharap bisa melakukan 80 persen atau minimal 60 persen restorasi dengan regenerasi alami yang dipercepat."
Banyak yang harus dipelajari dalam upaya pemulihan ekosistem hutan produksi, termasuk penanaman kembali beberapa spesies pohon, semisal pohon bulian, yang malam itu diserahkan Menteri Kehutanan dan Tata Ruang Wilayah Zulkifli Hasan. Tahun ini, Kementerian Kehutanan mencadangkan 300 ribu hektare hutan untuk restorasi ekosistem sebagai bagian dari target rehabilitasi hutan seluas 500 ribu hektare per tahun.
"Perbanyakan bibit pohon bulian itu sulit, kita harus mengambil bijinya dari lantai hutan, tak semuanya tumbuh ketika dipindahkan ke polybag atau ke lapangan," kata Sukianto. "Itu semua harus dipelajari."
Salah satu masalah yang juga harus dipelajari adalah adanya kemungkinan pembelian kredit karbon Harapan Rainforest. "Kalau memang ada pembayaran dari karbon hutan, siapa yang berhak," kata Sukianto. "Kami akan mempelajari bagaimana pengaturannya dan hubungannya dengan pemerintah kabupaten, terutama masyarakat sekitar hutan."
Sukianto menekankan bahwa upaya pengajuan izin restorasi ekosistem itu sama sekali tidak didorong untuk memperoleh kredit karbon. "Tetapi kami memang melihat kemungkinan itu dalam konteks jasa lingkungan," katanya.
Lewat izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dari Menteri Kehutanan, PT REKI dapat mengelola Harapan Rainforest selama 100 tahun. Perusahaan itu didukung oleh konsorsium Birdlife, yang beranggotakan Burung Indonesia, The Royal Society for the Protection of Birds (RSPB), dan BirdLife International. "Untuk memperoleh izin itu, kami memperoleh bantuan donasi dari RSPB," kata Sukianto. "Kami berharap ke depan iuran untuk memperoleh izin restorasi ekosistem jangan disamakan dengan izin pemotongan kayu."
Dari Sumatra ke Gorontalo
Meski memilih hutan Sumatera Selatan dan Jambi sebagai proyek restorasi ekosistem yang pertama di Indonesia, Burung Indonesia tak melupakan kawasan Wallacea atau bagian timur Indonesia. Setelah memperoleh izin untuk melakukan pengelolaan hutan di Sumatera, kini mereka mengajukan izin untuk kawasan restorasi ekosistem kedua di Gorontalo di Pulau Sulawesi.
"Sejak 2002, kami telah bekerja di Wallacea," kata Ani Mardiastuti. "Sumatera memang mengalami fragmentasi hutan yang sangat besar, meski demikian kami tetap setia pada Wallacea."
Restorasi ekosistem di Gorontalo akan ditangani oleh PT Habitat Burung Indonesia. Kawasan bekas hutan alam produksi seluas 75 ribu hektare di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, yang memiliki keanekaragaman unik dipilih sebagai lokasi pemulihan berikutnya. "Keanekaragaman hayati kawasan Wallacea yang paling tinggi," kata Sukianto Lusli, Direktur Eksekutif PT Habitat Burung Indonesia. "Keunikan khas yang belum terwakili sehingga kami meminta izin agar hutan produksi itu tidak ditebang kayunya, tapi direstorasi."
TJANDRA DEWI