Hal ini bermula ketika kelompok pembela hak binatang merilis video di YouTube di lokasi pemerahan susu. Video itu memperlihatkan sapi dipukul dan dicambuk yang berakibat menimbulkan reaksi kemarahan.
Tapi kemarahan dan perlawanan justru muncul dari para petani dengan blogging, twitting, mengunggah video mereka sendiri dan ngobrol di ruang facebook mempertahankan bisnisnya. Mereka juga menjelaskan hal itu tidak mencerminkan apa yang mereka lakukan.
Para petani ini tidak selalu berpikir seperti setumpuk jejaring sosial. Tetapi frustasi menjadi target dari kelompok pembela hak binatang dan kelompok lingkungan telah menginspirasi mereka untuk terlibat di media sosial dan menjawab dengan sepadan.
Senjata ponsel pintar mereka membuat para petani memposting dan mengubah status jejaring sosial mereka dari atas traktor dan meningkatkan kenyamanan meringkas secara tajam di twitter. Mereka mengatakan cerita secara online dan terkoneksi kepada publik yang tidak memahami mereka, bertukar informasi dan memecahkan isolasi yang mereka rasakan di peternakan.
"Sangat banyak publikasi negatif di luar sana, dan tidak ada menyampaikan pesan kami keluar," ujar salah satu petani generasi kedua di California, Ray Prock Junior.
Dia mempunyai blog dan akun twitter yang terhubung dengan segala informasi dari pengeboran darurat untuk penanganan tumpahan pupuk hingga kandungan lactosa yang tak bisa ditoleransi.
Prock yang bertanggung jawab atas video itu sampai membawa keluarganya berlibur untuk menghilangkan frustasinya. Istri dan dua anaknya hidup di peternakan seluas 240 acre mulai membantu keluarga memelihara 450 sapi.
Industri pemerahan susu telah memfokuskan pada rekaman tersembunyi oleh kelompok pembela hak binatang. Di video itu, sebuah sapi terlihat terlalu lemah untuk berjalan ke penyembelihan digilas oleh sebuah operator mesin pengangkut barang. Video lain menampilkan pekerja di rumah penyembelihan menendang anak sapi yang baru lahir.
Para peternak mengatakan video-video tersebut membuat syok tetapi tidak merepresentasikan bagaimana binatang mereka terancam. Mereka khawatir masyarakat Amerika Serikat tidak mau menyadari hal ini karena beberapa generasi berpindah kehidupan dari pertanian. Mereka tidak mengetahui bagaimana peternak dan punya ide kecil bagaimana makanan mereka dibuat.
Hanya informasi tentang makanan dan pertanian yang membuat hampir semua orang mendekat dari internet, menukarkan tempat di situs seperti Youtube atau twitter tanpa masukan dari petani.
Prock mengatakan terlalu banyak berita di luar sana tanpa ada berita atau jawaban dari para peternak. Karena itu dia mengajak petani lain bergabung dan menggunakan media sosial ini dan menyampaikan cerita mereka kepada masyarakat.
Yang mengejutkan, Prock pun sudah mempunyai 11 ribu pengikut. Dia bergabung dalam Yayasan AgChat dan akan membuat pelatihan untuk para petani tentang media sosial ini. Mereka juga berharap petani segera mendapat pinjaman agar para petani ini mempunyai alat untuk berfacebook atau ngetwit seperti ponsel pintar atau laptop dan koneksi internet.
Para petani atau peternak ini mendapatkan dukungan dalam penggunaan media sosial. Seorang penasehat peternakan dan peneliti di Universitas California Mattew Fidelibus, mulai menggunakan twitter sebagai jalan untuk mencari informasi penting untuk menggandeng petani dengan cepat. Dia dapat mengetahui reaksi dari petani jika ada masalah.
Menurutnya media sosial ini memungkinkan anggotanya berinteraksi lebih jauh. Para peternak bisa memposting suatu jika ada suatu masalah. "Ideal untuk itu, murah, cepat, gratis saat dukungan negara pada program universitas berkurang," ujarnya.
Kelompok marketing nasional yang merepresentasikan petani juga ambil bagian. Di Valley Central California mereka telah mempunyai tiga panel sejak tiga bulan pada pertanian menggunakan sosial media sebagai bagian dari konferensi terkait pertanian. Mereka bahkan membayar lebih dari 20 orang untuk membantu petani dalam media sosial ini. Tak kurang dari 1200 petani telah melek internet dan diajari bagaimana menggunakannya untuk pertanian dan peternakan mereka.
AP | DIAN YULIASTUTI