“Banyak pakar maupun praktisi yang mengusulkan peta gempa yang lama segera direvisi karena banyak kejadian gempa besar dalam beberapa tahun terakhir,” kata Sumaryanto Widiyatin, kepala Balitbang PU di Jakarta, Jumat (16/07/2010)
Perbaikan peta zonasi gempa itu juga didasari pada perkembangan terbaru ilmu pengetahuan kegempaan dan teknologi kegempaan pada skala nasional maupun internasional. Sumaryanto mengatakan peta baru ini mengacu pada International Building Code (IBC) 2006, serta dibuat berdasarkan analisis sumber gempa tiga dimensi dengan periode ulang 475 dan 2475 tahun untuk peak ground acceleration (PGA), respons spektra periode pendek (0,2 detik) dan periode panjang (1 detik). “Ini dilakukan untuk mengurangi korban jiwa dan kerugian material akibat gempa,” katanya. “Mana daerah yang boleh dibangun dan bagaimana perkuatan struktur yang harus diterapkan pada bangunan di daerah rawan gempa.”
Peta zonasi ini diharapkan dapat menunjang penyediaan dan pembangunan infastruktur nasional yang tahan gempa. Peta zonasi gempa yang terdiri dari enam peta itu telah mengakomodir seluruh kebutuhan, mulai dari bangunan gedung, bangunan air dan jembatan.
Untuk menyusun peta tersebut Kementerian Pekerjaan Umum membentuk tim kerja yang terdiri dari para pakar di bidangnya, yang berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). “Dengan selesainya peta gempa Indonesia terbaru tahun 2010 ini, perhitungan beban gempa pada struktur akan lebih akurat dan efisien,” kata Sumaryanto.
Sumaryanto berharap pemerintah daerah terutama kawasan rawan gempa dapat menindaklanjuti peta zonasi gempa dengan membuat peraturan tata bangunan sesuai dengan peta itu. “Kami akan melakukan sosialisasi karena dengan adanya peta ini, pemerintah daerah harus bertanggung jawab atas risiko korban jiwa besar karena runtuhnya bangunan akibat gempa,” katanya
TJANDRA DEWI