TEMPO Interaktif, Jakarta: Chandra Tresnadi rupanya bukan orang yang mudah berpuas diri. Kendati sudah menjuarai kompetisi Indonesia ICT Award (INAICTA) 2010, Juli lalu, game Nitiki ciptaannya kembali diikutkan dalam lomba yang tak kalah bergengsi, International Young Creative Entrepreneur (IYCE). Dalam kompetisi yang diadakan oleh British Council itu, Nitiki sudah masuk urutan 10 besar pekan ini.
Nitiki adalah karya yang menjadi pemenang INAICTA 2010 untuk kategori Digital Interactive Media. Nitiki adalah model participatory game. Dinamakan demikian karena siapa pun bisa ikut bermain dan tak hanya satu orang pemain. Menurut Chandra, pemain game, khususnya anak-anak, ketika sudah bermain game cenderung berfokus pada permainannya saja. Ia seakan tak peduli kepada lingkungan sosialnya.
Baca Juga:
Karena itu, pada 2007, saat game ini mulai diciptakan, Chandra putar otak mencari teknologi apa yang membuat pemainnya tetap dapat berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Ia pun mencoba teknologi layar multi-sentuhan. "Dengan layar sentuh, siapa saja bisa datang dan ikut bermain," ujarnya kepada iTempo, awal pekan ini.
Pria lajang berusia 31 tahun ini memang mengangankan game-nya bisa dipakai di ruang-ruang publik di mana semua orang bisa ikut bermain, seperti bandara, mal, atau museum. "Daripada orang cuma menunggu pesawat, mungkin lebih enak bermain sambil belajar," katanya.
Game ini memang menyisipkan unsur pendidikan, khususnya mengenai seni batik. Karena itu, Nitiki sekaligus mempromosikan budaya membatik. Nama Nitiki sendiri berasal dari kata nitik-i atau dalam bahasa Jawa artinya memberi titik-titik. "Ada juga ragam hias batik klasik yang namanya 'nitik'," ujar Chandra.
Permainan ini memang membuat orang jadi mempelajari berbagai hal tentang batik. Dari ragam hiasnya, pola, hingga warna-warna yang dipakai. "Si pemain bisa mengerti proses pembuatan batik, motif apa, dan dari daerah mana. Motif batik daerah tertentu bisa diketahui dari motif atau warna yang digunakannya."
Dalam game ini, pemain ditantang untuk menggabungkan potongan-potongan gambar (puzzle) dengan karakter khas batik, seperti gambar hewan, bunga, atau benda lain yang terdapat dalam corak batik dari berbagai daerah. "Pemain tak menyadari bahwa potongan-potongan itu merupakan corak batik suatu daerah," kata dia.
Misalnya batik bermotif burung merpati, beberapa bagiannya dibuat kosong. Bagian-bagian kosong inilah yang harus diisi pemain. Tapi inilah uniknya. Tak seperti permainan puzzle yang sudah ditentukan potongan-potongannya, Nitiki memberikan kebebasan kepada pemain untuk mengisi dengan gambar yang diinginkannya.
Game ini juga tidak menggunakan sistem nilai atau poin seperti kebanyakan game lain yang memakai poin sebagai indikator menang atau kalah. Namun Nitiki memberi batasan waktu sekitar 300 detik. Jika pengguna tak dapat merampungkan permainan dalam waktu yang ditentukan, permainan selesai atau game-over dan dia harus memulainya dari awal.
Chandra sebelumnya tak memiliki latar belakang sebagai pemain game atau pendidikan digital animasi. "Dulu saya enggak suka, bahkan anti-game," ujarnya. Kalau soal batik, ia memang mengenyam pendidikan strata 1 (S-1) di program studi kriya seni (batik) di Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung.
Namun, setelah lulus sarjana seni, pada 2007 ia mendapat program Beasiswa Unggulan BPKLN Diknas untuk program game teknologi pada jurusan desain di perguruan tinggi yang sama. Untuk menyelesaikan program magister (S-2) itulah dia "dipaksa" beralih mempelajari pengembangan berbagai game digital.
Saat mengenyam pendidikan S-2 itulah ia menciptakan Nitiki, sebagai proyek alternatif transfer keilmuan batik tradisi ke media digital interaktif. Kini, setelah diikutkan dalam dua lomba bergengsi itu, Chandra berencana melakukan road show agar tujuannya tercapai, yakni game Nitiki bisa digunakan di ruang-ruang publik.
Nitiki sebenarnya masih menggunakan sistem dan teknologi layar sentuh sederhana. Karena itu, ia berniat terus mengembangkan karyanya ini agar kelak juga bisa digunakan di perangkat-perangkat lain yang sedang jadi tren saat ini, seperti iPhone atau iPad tablet.
DIMAS