TEMPO Interaktif, Jakarta - Berapa besar penghasilan seorang pengembang game di dunia? Beberapa survei di Amerika mencatat penghasilan rata-rata pembuat game di negara itu mencapai US$ 80 ribu atau sekitar Rp 720 juta per tahun. Angka yang menggiurkan untuk ukuran hidup di Indonesia.
Bagaimana dengan penggiat industri game di sini? Fakta mencatat beberapa pengembang game memiliki penghasilan yang tak kalah bahkan melebihi penghasilan pembuat game di Negeri Abang Sam. Misalnya Roy Winata, pendiri sekaligus pembuat aplikasi di GDI Plus, yang mampu memasarkan game buatannya lewat Apple Store dengan penghasilan miliaran rupiah.
Dengan pengalamannya, wajar jika Roy Winata punya cerita bagaimana mendapatkan uang dan menjual game. Dia menuturkan, saat masih menjadi bos PT Global Dinamika Informatika (GDI), salah satu pekerjaan utamanya adalah meyakinkan manajemen perusahaan-perusahaan agar mau menggunakan jasanya membuat aplikasi atau peranti lunak. “Setelah klien yakin, program atau game akan dibuat sesuai dengan pesanan,” kata Roy, pendiri sekaligus pembuat aplikasi di GDI Plus.
Penghasilan terbesar datang saat Roy mendirikan GDI Plus, yang spesialis membuat game untuk iPhone dan iPad. Memang bukan perkara mudah. Roy mesti meyakinkan semua pengguna iPhone di seluruh dunia agar menggunakan aplikasi miliknya. “Jika suka, diunduh. Jika tidak, ya tidak dapat apa-apa,” katanya.
Roy menceritakan, GDI pertama kali menjual iWriteWords (aplikasi game belajar untuk anak di bawah lima tahun) pada awal 2009, dengan memasang harga US$ 0,99. “Harga ditentukan sendiri (Roy) sebagai pengembang aplikasi game,” katanya. Apabila laku, pengembang seperti GDI Plus akan mendapat 70 persen per unduhan aplikasi game oleh pelanggan di Apple Store. Tentu saja, sisanya (30 persen) untuk Apple Inc.
Baca Juga:
Harga murah disertai kualitas yang ajib membuat game buatan Roy laku di pasar. Begitu merasa laku, Roy langsung menaikkan harga menjadi US$ 2,99. Tapi kenaikan harga ini membuat pembeli mundur, sehingga harga diturunkan kembali menjadi US$ 1,99. “Tidak semua kenaikan harga langsung membuat pemasukan bertambah,” kata Roy. Setelah iWriteWords menjadi produk yang sangat laku, baru harganya dinaikkan menjadi US$ 2,99, yang bertahan sampai sekarang.
Meski sukses, Roy masih meraba-raba game seperti apa yang bakal laku di pasar. Setelah iWriteWords, Roy menduga aplikasi permainan untuk anak-anak pasti akan sukses. Sehingga Roy dan rekannya di GDI Plus, Agustinus, memutuskan membuat beberapa aplikasi lain untuk anak-anak. Hasilnya? Buruk. Bahkan ada yang hanya menghasilkan pemasukan kurang dari Rp 4 juta. “Akhirnya kami percaya, kalau tujuan dari awal mencari uang, hasilnya malah buruk,” kata Agustinus.
Kepercayaan itu bertambah karena dua aplikasi yang dibuat Agustinus, iNews dan Blogshelf, juga sukses meraup ratusan juta rupiah. Uniknya, kedua aplikasi buatan Agustinus dibuat karena rasa senang. “Bukan semata untuk mendapat uang sebanyak-banyaknya,” kata Roy. Saat ini mereka sudah mengumpulkan lebih dari Rp 2 miliar dari game-game yang dilepas mulai tahun lalu itu. Sumbangan terbesar datang dari iWriteWords, yang memberikan penghasilan sekitar Rp 800 juta.
Siapa pun bisa meniru apa yang dilakukan Roy dan Agustinus. Caranya sederhana: bikin game, letakkan di situs Apple, tunggu persetujuan dari Apple, dan dipajang.
Di samping menjual di Apple Store, ada model-model bisnis lain. Cara yang satu ini banyak dilakukan pengembang di Indonesia: menerima pesanan dari perusahaan game luar negeri alias outsourcing. Ada pula model bisnis dengan menjual game Flash lewat sponsorship. Biasanya sponsor berasal dari portal game milik luar negeri, seperti armorgames.com, crazymonkeygames.com, dan kongerade.com. Mereka rela membayar game buatan pengembang game di seluruh dunia dengan harga antara US$ 100 dan US$ 20 ribu. “Saya pernah mendapat sponsorship untuk satu game Flash seharga US$ 6.500,” kata pengembang game dan animasi, Malin Sugema. (BACA JUGA: Menyebarkan Candu Game Indonesia)
Menurut Fajar A. Budiprasetyo, harga aplikasi permainan online di pasar internasional berkisar antara US$ 10 ribu dan US$ 30 ribu. “Tergantung tingkat kesulitannya,” kata pengembang aplikasi yang menjabat chief executive officer di PT SkyEight ini. Pemuda 34 tahun ini pernah diminta membuat permainan role playing game (bermain peran) oleh perusahaan pengembang game jejaring sosial Amerika Serikat, Entercast. Dibantu tiga animator, Fajar berhasil menyelesaikan game berjudul Chronicle of the Fallen selama empat bulan.
Senada dengan Fajar, Wandah Wibawanto, 26 tahun, sesekali menerima pesanan dari perusahaan game luar dengan harga US$ 10 ribu. “Saya kerjakan sendiri sekitar 3-4 bulan,” kata Wandah.
CEO Agate Studio, Arief Widhiyasa, mengatakan industri game mempunyai prospek yang sangat cerah. Pria 23 tahun yang masih berstatus mahasiswa di Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung ini mengaku mampu memutar uang sekitar Rp 100 juta per bulan dari bisnis pembuatan game. “Sebulan kami membuat sedikitnya enam game Flash dan memenuhi pesanan game dari Amerika dan Eropa,” kata Arief, yang mengelola Agate Studio sejak 2009. (Baca juga: Guntur Tak Lagi Berpuasa )
Arief menambahkan, pertumbuhan industri game di dunia melesat bak roket, melebihi industri musik dan film. Tak terkecuali di Indonesia, game online kian digandrungi, bahkan sampai di kota-kota kecil. Indikasinya adalah banyaknya warung Internet yang menyediakan game online. Diperkirakan penggemar game online di Indonesia mencapai tujuh juta pemain. Belum lagi pengguna aplikasi mobile, komputer, dan situs jejaring sosial yang tak bisa dipisahkan dari game. Ini membuat industri game tak akan pernah mati.
Di masa mendatang, Kris Antoni dari Toge Productions berpikir para pengembang game di Indonesia bisa memanfaatkan model bisnis ala micro transaction. “Ini seperti di FarmVille di Facebook,” katanya. Dalam game FarmVille yang sangat populer itu, pemain yang bagus mendapatkan uang virtual jika tidak membiarkan tanamannya rusak. Uang virtual ini bisa untuk membeli benih atau peralatan.
Tapi, jika Anda pemain yang ceroboh, tanaman selalu mati, bisa saja tetap membeli benih atau peralatan di dalam game itu. Caranya: membeli dengan uang betulan lewat bank Internet, yakni PayPal, atau sistem pembayaran Facebook yang disebut Credits. Di FarmVille, misalnya, harga traktor US$ 3,5 dan empat ekor ayam US$ 5,6--semuanya uang betulan. Transaksi kecil ini menambah pundi-pundi studio pembuat FarmVille, yakni Zynga. Kris ingin menirunya. (Baca juga: Mereka Jagoan Kita)
Para pengembang juga bisa menjual merchandise yang berhubungan dengan game yang dibuatnya melalui toko online. Metode ini juga yang akan dilakukan oleh PT Nusantara Wahana Komunika, penerbit dan pemegang hak eksklusif permainan Nusantara Online.
Apa pun model bisnis yang diterapkan para pengembang game Tanah Air, secara tak sadar mereka telah menjadi duta produk kreatif yang tak kalah dengan bangsa lain. Tapi ada satu hal yang diingatkan Kris Antoni. “Sebisa mungkin hak cipta intelektual kita yang pegang,” katanya.
Rudy Prasetyo | Nur Khoiri
BERITA TERKAIT:
Menyebarkan Candu Game Indonesia