Agar risiko itu berkurang, Multi University Research Initiative, proyek sejumlah universitas yang dipimpin Kantor Riset Angkatan Laut Amerika Serikat, mengembangkan detektor bom berbasis gelombang radio dan suara. Dengan alat ini, bahan peledak bisa "diterawang" dari jarak jauh. "Prinsipnya mengirimkan energi ke dalam material kemudian menangkap energi yang dipantulkan," kata Profesor Teknik Mesin Universitas Purdue, Douglas Adams.
Proyek senilai US$ 7 juta atau sekitar Rp 65 miliar ini menggunakan laser tiga dimensi yang mampu menembus dinding pelindung. Dengan sistem ini, materi yang dirangkai dalam bom bisa diketahui. Laser penghantar gelombang radio dan suara dihubungkan ke sebuah perangkat yang disebut vibrometer. Para peneliti di konsorsium itu juga menggunakan holografi akustik untuk menggambarkan dengan tepat cara berbagai bahan bereaksi terhadap suara dan sensor miniatur.
Reaksi terhadap pancaran gelombang ini dikirim balik ke vibrometer dan direkam. Komputasi model dan persamaan matematika yang sangat kompleks akan mengindentifikasi bahan dan mengolah data tersebut. Teknik proses data ini berlangsung secara langsung alias real time. Bahan peledak pada bom seperti trinitrotoluene (TNT) akan diketahui lebih akurat. Data akan ditampilkan di layar komputer. Dengan bantuan hasil deteksi, para penjinak baru akan beraksi.
Adams mengaku, tantangan utama dalam penerapan alat ini adalah memadukan gelombang radio dan suara. Sebab, frekuensi keduanya tak sama. "Kami tidak dapat menggunakan persamaan matematika dan model yang sama," katanya.
TEMPO