Untuk bisa menyaksikan peristiwa langit yang terjadi saban November itu, dia membeberkan beberapa syarat dan tips. "Pertama langit harus cerah, tidak mendung," katanya. Sebab, awan akan menghalangi pandangan ke langit.
Pandangan juga bisa terhalang polusi udara dan cahaya. Maka, Jakarta bukan tempat yang tepat untuk menikmati hujan meteor. "Lebih baik cari tempat di pinggiran kota seperti Serpong atau Kepulauan Seribu," kata Tersia.
Jika sudah menemukan tempat yang tepat, kita harus bisa mengenali rasi bintang Leo, tempat asal lesatan meteorit. Menurut Tersia, rasi Leo mulai terbit di langit timur sekitar pukul 1 dini hari. Seiring waktu, rasi itu bergerak ke barat.
Puncak hujan meteor Leonid ini, yaitu menjelang matahari terbit, Leo berada di titik 90 derajat atau tegak lurus, sehingga kepala harus mendongak. "Paling enak mengamati dengan rebahan di tanah lapang," katanya. Tips terakhir adalah mengenakan pakaian tebal dan pergi berkelompok jika mengamati di tempat sepi di luar kota.
Meski kecil kemungkinan terlihat karena sebagian besar wilayah Indonesia sering diselimuti mendung, hujan meteor yang berasal dari Komet Tempel-Tuttle ini tetap pantas dinanti. Tersia mengatakan, di antara lebih dari lima hujan meteor tahunan, Leonid merupakan pilihan favorit selain Perseid yang muncul saban Agustus.
Perseid dinanti karena berasal dari tumburan asteroid dengan atmosfer, sehingga menimbulkan meteorid yang lebih terang ketimbang hujan meteor lain. Sementara Leonid tidak kalah ditunggu. "Materialnya dari es, sehingga lebih halus, tapi jumlahnya lebih banyak," katanya.
Lintasan terdekat Komet Tempel-Tuttle terjadi setiap 33 tahun sekali, terakhir terjadi pada 2002. Saat itu Leonid memancarkan sampai ratusan sampai ribuan bintang jatuh per menit. Untuk "kunjungan reguler" seperti tahun ini, kata Tersia, frekuensi maksimalnya 30-an meteorid per jam.
REZA M