Padahal Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Cuaca ekstrem menyebabkan petani tidak dapat menentukan musim dan nelayan sulit melaut. Naiknya paras muka laut telah menenggelamkan beberapa permukiman penduduk di pesisir. Belum lagi dampaknya bagi kesehatan masyarakat.
"Dibutuhkan dasar-dasar ilmiah untuk aksi adaptasi," kata Fabby dalam diskusi yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen dan Oxfam. Menurut Fabby, dengan riset dapat dibuat skala prioritas, cakupan, program, serta pengarusutamaan adaptasi dalam program pembangunan.
Ketua Kelompok Kerja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim Ismid Hadad menjelaskan, untuk menentukan besarnya biaya program adaptasi, harus dari bawah. "Karena tiap daerah berbeda-beda tingkat kerentanannya," ujar Ismid, yang menjadi pembicara bersama Fabby.
Sejak 2009, aspek adaptasi masuk program pembangunan nasional. Namun, kata Ismid, hal itu tersebar dalam program di sejumlah kementerian dan lembaga. Dia berharap Badan Perencanaan Pembangunan Nasional terus menjadikan perubahan iklim sebagai arus utama pembangunan nasional.
Ismid mengutip data sejumlah lembaga tentang perkiraan biaya dan investasi program adaptasi di negara berkembang. Bank Dunia menyebutkan angka US$ 4-37 miliar per tahun. Badan PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) menaksir angka US$ 28-67 miliar tahun pada 2030. Lalu UNDP menyebut US$ 86 miliar tiap tahun pada 2016 dan Oxfam menaksir hingga US$ 8-33 miliar per tahun.
UNTUNG WIDYANTO