TEMPO Interaktif, Jakarta - Rangkaian hujan meteor tahun ini akan ditutup oleh Geminid. Tidak seperti saudara-saudaranya, Geminid berasal dari asteroid 3200 Phantheon, bukan komet.
Partikel yang melewati orbit Bumi lebih besar, rata-rata sekitar 2 gram per sentimeter kubik. Beberapa kali lebih padat ketimbang debu ekor komet. Saat memasuki atmosfer, partikel itu meluncur dengan kecepatan rendah, 35 kilometer per detik. Dua kali lebih lambat ketimbang meteor Leonid yang nongol bulan lalu. "Sehingga lebih terang dan mudah dilihat," ujar Ronny Syamara pengurus Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, Senin (13/12).
Seperti namanya, hujan meteor ini, terlihat berasal dari konstelasi bintang gemini. Butuh sedikit usaha untuk mengidentifikasi rasi si kembar.
Menurut Ronny, pengamat bisa melihat ke Timur dan dengan mudah mendapati tiga bintang sejajar, yang jadi ikon rasi Orion. Dari trio itu, berpaling ke Timur Laut dan anda akan menemukan Bethelgeuse, bintang merah sekaligus yang paling terang di Orion. Teruskan berpaling ke Timur Laut dan anda akan menemukan Castor dan Pollux, dua saudara yang paling bersinar di Gemini.
Geminid sudah mulai mempertontonkan keindahan mereka pukul 21.00 WIB nanti. Namun baru akan terlihat setelah bulan tenggelam pada pukul 11 malam. "Bisa dinikmati sepanjang malam sampai menjelang subuh," kata Ronny.
Jika cuaca bebas mendung, kita akan mendapati sedikitnya 60 bintang jatuh saban jam. "Dengan syarat, bebas polusi cahaya," katanya. Di Jakarta, lokasi terbaik adalah daerah pinggir kota yang tidak banyak lampu. Lokasi ideal: Kepulauan Seribu.
Pengamat bisa berharap melihat lebih banyak bintang jatuh karena Bulan baru memasuki fase muda, sehingga cahayanya tidak berapa terang. Menurut Ronny, Geminid tidak terpengaruh gerhana bulan. "Di Indonesia, gerhana baru akan terjadi pada 21 Desember, itu pun tidak terlihat di Sumatera dan sebagian Jawa bagian Barat," katanya.
REZA M