Namun pada satu level di bawahnya, kata Mubariq, sangat jelek. Dia merujuk pada tidak tuntasnya Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) Padahal telah setahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara soal ini. Minimnya kemauan politik dan koordinasi juga tampak dari tiadanya insentif untuk sektor geotermal.
Mubariq menceritakan ada tiga kementrian terkait yang mengetahui suatu masalah. Akan tetapi tidak ada upaya memperbaikinya. Tak ada rapat-rapat antara direktur jenderal dan koordinasi tak efektif. Baru setelah Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan turun tangan, masalah terpecahkan. Mengapa hal itu bisa terjadi? "Karena UKP4 berani melaporkan langsung ke Presiden," katanya. Keberanian itu tidak dimiliki menteri koordinator.
Menurut Mubariq, koordinasi sangat penting karena Indonesia menghadapi tantangan yang sangat besar. Tidak mudah, katanya, menyelaraskan pembangunan nasional dengan perubahan iklim. Maklum agenda pokok yang diusung pemerintah adalah pro growth, pro job dan pro poor. Belum lagi kondisi Indonesia yang baru masuk menjadi negara berpenghasilan menengah. Konsumsi bakal terus meningkat dan pertumbuhan sektor properti semakin masif.
Masalah perubahan iklim adalah masalah ekonomi. Sejumlah kajian menunjukkan kerugian ekonomi dari dampak perubahan iklim. Lord Stern menyebut angka 14 persen, sementara Asian Development Bank menghitung kerugian ekonomi sebesar 6,7 persen di kawasan Asia Tenggara. Negara miskin dan masyarakat bawah adalah yang pertama menjadi korban.
Mubarik mengusulkan perlunya mengubah jalur pembangunan nasional ke low carbon economy. Bukan apa-apa model pembangunan ini menjadi trend masa depan. Untuk itu ada tiga sektor yang harus dibenahi, yakni kehutanan, energi dan transportasi.
UNTUNG WIDYANTO