Sekretaris Eksekutif Badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Christiana Figueres juga mengakui bahwa Cancun Agreements atau Kesepakatan Cancun lahir dari proses yang transparan dan terbuka yang menguntungkan semua pihak. Konferensi Iklim Cancun ini berlangsung pada 29 November sampai 11 Desember 2010. Christina dari Kosta Rica memang baru enam bulan menjabat Sekretaris UNFCCC. Pada waktu Konferensi Iklim di Kopenhagen Desember 2009, posisi itu dijabat Yvo de Boer dari Belanda.
Tuduhan Becky soal tekan-menekan di Kopenhagen memang beralasan setelah situs WikiLeaks membocorkan kawat-kawat diplomatik pemerintah Amerika Serikat pekan lalu. Pada 31 Juli 2009, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengirim kawat rahasia kepada diplomatnya agar mengincar diplomat negara lain yang bertugas di PBB, termasuk yang menangani perubahan iklim.
Kawat itu berasal dari CIA dengan maksud melihat posisi dan tawaran negara-negara pihak menjelang Konferensi Kopenhagen. Para diplomat diperintahkan mengincar rancangan traktat dan kesepakatan yang akan disetujui.
Situs WikiLeaks membeberkan kawat-kawat diplomatik menjelang Konferensi Kopenhagen berakhir hingga Februari 2010. Konferensi itu sendiri menghasilkan Copenhagen Accord, yang ditolak dua pertiga negara. Kesepakatan itu dibuat setelah kedatangan Presiden Barrack Obama di Kopenhagen.
Tuan rumah Denmark hanya mengundang Obama serta beberapa kepala negara di Eropa dan lainnya untuk merumuskan Copenhagen Accord. Ketika dibawa ke sidang pleno, konsep itu ditolak Venezuela, Bolivia, dan sejumlah negara lain. Sebelumnya, memasuki pekan kedua Konferensi Kopenhagen, beredar dokumen yang berisi hasil kesepakatan. Dokumen yang bocor ini kabarnya dibuat Denmark dan beberapa negara maju lainnya.
Berdasarkan bocoran kawat diplomatik soal iklim atau ClimateLeaks, rupanya beberapa negara yang hadir di Kopenhagen berhasil dibujuk untuk sebuah kesepakatan dengan iming-iming bantuan US$ 30 miliar.
Lalu dua minggu setelah Konferensi Kopenhagen, Menteri Luar Negeri Maladewa Ahmed Shaheed menulis surat kepada sejawatnya, Hillary Clinton. Dia mengekspresikan keinginan untuk mendukung kesepakatan.
Pada 23 Februari 2010, Duta Besar Maladewa yang dirancang untuk posisi AS, Abdul Ghafoor Mohamed, berkata kepada wakil utusan iklim AS, Jonathan Pershing, bahwa negaranya menginginkan "bantuan nyata". Ghafoor mengatakan negara lain kemudian akan tergiur merealisasi "manfaat bantuan yang diraih dengan mengikuti perjanjian" yang dilakukan Maladewa.
Dari kawat pada 11 Februari, Pershing bertemu dengan Ketua Komisi Aksi Iklim Uni Eropa Connie Hedegaard di Brussels, Belgia. Hedegaard (yang menjadi Presiden Konferensi Iklim Kopenhagen) mengatakan negara-negara kecil bisa menjadi sekutu terbaik sehubungan dengan kebutuhan mereka akan bantuan.
Namun mereka berpikir soal cara pencarian bantuan US$ 30 miliar. Hedegaard mengajukan usulan dan bertanya apakah semua bantuan AS berbentuk tunai atau sekadar melakukan "kreativitas akuntansi". Pershing mengatakan, "Para donor harus menyeimbangkan keperluan politik soal bantuan itu dengan kendala ketatnya anggaran negara." Ternyata banyak dari janji bantuan untuk lingkungan itu merupakan pengalihan dari bantuan yang sudah pernah dijanjikan untuk urusan lain.
Kawat lain tertanggal 2 Februari 2009 menceritakan kabar dari Addis Ababa soal pertemuan antara Wakil Menteri Luar Negeri AS Maria Otero dan Perdana Menteri Etiopia Meles Zenawi, yang akan memimpin pertemuan perubahan iklim Uni Afrika.
Kawat rahasia ini ternyata memuat ancaman tegas Abang Sam terhadap Zenawi: "Tanda tangani perjanjian atau diskusi harus berakhir sekarang." Zenawi menjawab bahwa negaranya mendukung kesepakatan, asalkan ada jaminan personal dari Presiden Barack Obama.
Rangkaian kawat itu menunjukkan perilaku koboi ala Amerika Serikat. Negara adidaya yang menolak Protokol Kyoto ini menggunakan janji manis, ancaman, aksi spionase, manipulasi akuntasi, dan perjanjian iklim. Tidak mengherankan jika banyak negara berkembang menyebut Copenhagen Accord sebagai barang haram.
UNTUNG WIDYANTO | THE GUARDIAN