Manusia membutuhkan teknologi, kata Kamkwamba, tapi mereka tidak dapat menggunakannya tanpa listrik. "Saya berencana memberi listrik yang dapat diandalkan," ujarnya. Upaya yang dilakukannya pada 2003 itu memberikan inspirasi bagi warga Malawi dan menjadi simbol inovasi akar rumput di Afrika. Dia diminta bicara di berbagai forum dan melanjutkan sekolah lagi di African Leadership Academy di Johannesburg.
Foto Kamkwamba dengan kincir angin dan cerita singkatnya dipaparkan Al Gore pada acara The Climate Project Asia-Pacific Summit di Jakarta, Ahad pekan lalu. Sejak pagi hingga petang mantan Wakil Presiden Amerika Serikat ini menjadi "guru dan pembangkit inspirasi" bagi 300 peserta dari 21 negara di Asia-Pasifik.
Menurut Al Gore, saat ini tenaga angin menjadi sumber listrik yang paling populer di dunia. Dari semua sumber energi yang dapat diperbarui, tenaga anginlah yang paling murah, serta teknologinya paling matang dan kompetitif.
Selain angin, pemenang Nobel Perdamaian 2007 ini mengulas sumber energi yang dapat diperbarui lainnya, seperti tenaga matahari, panas bumi, biofuel, penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and sequestration), serta teknologi nuklir.
Solusi menghadapi perubahan iklim memang jadi fokus presentasi Al Gore pada sesi siang hari. Paparannya ini banyak merujuk pada bukunya yang terbit tahun lalu, yang bertajuk Our Choice: A Plan to Solve the Climate Crisis.
"Kita dapat mengatasi krisis iklim," kata Al Gore. Memang upaya itu tidak mudah. "Tetapi, kalau kita memilih untuk mengatasinya, saya tidak ragu sedikit pun bahwa kita mampu dan akan berhasil mengatasinya," ujar Gore yang membentuk The Climate Project sebagai program kepemimpinan.
Pada sesi pagi, dia memaparkan informasi dasar pemanasan global dan dampak perubahan iklim. Sekitar 200 slide dia tampilkan untuk menjelaskan masalah ini. Slide itu menampilkan data dan grafis mengenai tema ini. Salah satunya mengenai data deforestasi (penggundulan hutan) di Indonesia. Puluhan foto mengenai bencana akibat iklim di berbagai dunia dia tampilkan, termasuk banjir bandang di Jakarta pada 2007.
"Basis ilmiah dari paparan Al Gore kini lebih banyak," kata Armi Susandi, dosen ITB, yang pernah mengikuti acara The Climate Project di Melbourne pada 2009 dan di Nashville pada 2010.
Memang, satu hari sebelum Al Gore tampil, peserta mendapat masukan dari Dr Henry Pollack, profesor geofisika dari University of Michigan dan penasihat sains The Climate Project. Buku terbaru Pollack, yang berjudul A World Without Ice, dipertimbangkan sebagai pemenang The Royal Society Prize untuk kategori Science Books pada 2010.
Namun, seperti presentasi sebelumnya, Al Gore menghindar dari paparan dan pertanyaan yang menyangkut kebijakan iklim pemerintah Amerika Serikat. Negara Abang Sam menolak Protokol Kyoto dan menjadi salah satu pihak yang mengganjal perjanjian internasional untuk mengurangi emisi secara signifikan.
Agus Justianto, Direktur Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan, Kementerian Kehutanan, menjelaskan, presentasi Al Gore harus dicermati kembali untuk disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Termasuk, kata dia, data tentang negara pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia yang bisa menyesatkan. "Kalau mau fair, seharusnya dihitung emisi per kapita," kata Agus, yang mengikuti acara The Climate Project di Melbourne, Nashville, dan Jakarta.
Terlepas dari kelemahan ini, kehadiran Al Gore di Jakarta membangkitkan semangat 300 peserta yang selama tiga hari mengikuti The Climate Project Asia-Pacific Summit.
Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Arief Yuwono, yang menjadi peserta, berencana menggerakkan jaringan di akar rumput untuk sama-sama menghadapi dampak perubahan iklim.
Komitmen serupa disampaikan peserta lain, seperti Imam S. Ernawi (Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum), Suzi K. Hutomo (CEO of The Body Shop Indonesia), dan Josef Bataona, Direktur Sumber Daya Manusia Unilever Indonesia. "Dimulai dengan langkah kecil, bersama-sama kita akan membawa perubahan besar," kata Josef.
Al Gore, dalam bukunya Our Choice, memang menjelaskan bahwa salah satu modal yang belum ada untuk mengatasi masalah iklim adalah kehendak kolektif. Dia mengutip peribahasa Afrika, "Kalau mau pergi dengan cepat, pergilah sendiri. Kalau mau pergi jauh, pergilah bersama."
UNTUNG WIDYANTO