Para peneliti di perguruan tinggi itu menggunakan komputer untuk mensimulasikan bagaimana makhluk prasejarah tersebut membuat jejak di berbagai jenis lumpur. Mereka menemukan bahwa, selain kondisi tanah yang sempurna, berat binatang amat menentukan.
Simulasi yang dinamai "Efek Goldilocks" itu membantu mereka menjelaskan mengapa ada jejak yang tertinggal di sejumlah situs, tapi tak ditemukan di tempat lain. Laporan riset itu dipublikasikan dalam jurnal Royal Society Interface.
"Dengan menggunakan pemodelan komputer, kami dapat menciptakan kembali kondisi ketika binatang seberat 30 ton membuat jejak," kata ahli paleontologi Dr Peter Falkingham, yang memimpin tim riset tersebut. "Kini kami dapat menggunakan efek Goldilocks sebagai dasar untuk mengeksplorasi berbagai faktor yang lebih rumit, seperti cara dinosaurus menggerakkan kaki atau apa yang terjadi pada jejak ketika lumpur mengering."
Berat dinosaurus amat beragam. Berat Brachiosaurus sekitar 30 ton, sedangkan ukuran dan berat Compsognathus sama dengan seekor ayam.
Situs berbeda juga menyimpan jejak yang berbeda. Situs Sungai Paluxy di Texas, Amerika Serikat, tempat ditemukannya jejak dinosaurus paling terkenal, hanya memiliki cetakan jejak kaki dinosaurus besar. Hasil riset Falkingham dan timnya menunjukkan bahwa situs seperti Sungai Paluxy ada kemungkinan dihuni jauh lebih banyak jenis binatang daripada jejak yang ditemukan. "Kerangka adalah sisa binatang mati. Jejak kaki adalah peninggalan binatang hidup, sesuatu yang dihasilkannya semasa hidup," kata Falkingham. "Itulah yang membuat jejak kaki dinosaurus amat menarik."
Menggunakan pemodelan komputer, tim itu mensimulasikan 20 dinosaurus berbeda berjalan dalam kondisi yang berbeda. Terungkap bahwa jejak dinosaurus berat hanya tercetak dengan baik dalam lumpur dangkal yang tebal. Pada lumpur lebih lunak dan dalam, hanya dinosaurus bertubuh ringan yang dapat meninggalkan jejak, sedangkan binatang lebih besar akan terjebak dan mati.
Temuan ini dapat membantu ahli paleontologi mengevaluasi kembali ekosistem bumi lebih dari 100 juta tahun lampau.
TJANDRA | SCIENCEDAILY