TEMPO Interaktif, Surabaya - "Dua hari dua malam saya tidak bisa tidur setelah menyaksikan film dokumenter Mud Max," kata Jeffrey Richards, Direktur Eksekutif Humanitus Foundation, lembaga swadaya masyarakat yang berpusat di Melbourne, Australia. Film yang diproduksi Immodicus dan bekerja sama dengan Arizona State University itu memberi dia inspirasi guna membantu meringankan penderitaan korban lumpur Sidoarjo.
Mei tahun lalu, dia menandatangani perjanjian kerja dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Salah satu implementasinya adalah terbentuknya Humanitus Sidoarjo Fund (HSF), yang berfungsi sebagai wadah untuk meluncurkan penyelidikan ilmiah dari semburan lumpur.
Lembaga inilah yang pada 25-26 Mei 2011 menyelenggarakan simposium internasional di Surabaya guna memperingati lima tahun lahirnya lumpur panas yang hingga kini belum berhenti. Simposium ini menuai protes dari Andang Bachtiar, Ketua Dewan Penasehat Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Ada 10 ilmuwan dari berbagai negara dan empat ahli dari Indonesia yang menjadi pembicara. Selain itu, puluhan peserta dari berbagai lembaga dan sejumlah wartawan dari Jakarta diundang. Jeffrey mengaku hanya membiayai tiket dan akomodasi di Hotel Mercure, Surabaya. Untuk menyelenggarakan simposium itu dan mengkomunikasikan lembaganya, dia menyewa perusahaan hubungan masyarakat luar negeri yang memiliki cabang di Indonesia.
Jeffrey membantah anggapan bahwa pihaknya mendapat dana dari Bakrie Group atau perusahaan minyak Santos. "Dari pribadi dia dan lembaga independen," kata Glenda Chin, Asisten Eksekutif Humanitus. Menurut dia, kantor lembaga ini berada di garasi rumah Jeffrey di Melbourne. Jeffrey, ujarnya, sebelumnya menjadi seorang eksekutif di perusahaan swasta, tapi kemudian keluar untuk mendirikan Humanitus Foundation.
Dalam siaran pers Humanitus Sidoarjo Fund pada 30 Juli 2010, mereka mengaku mendapat dana US$ 1 juta dari perusahaan minyak Rusia, OOO RINeftGaz. "Dana ini untuk memetakan geodinamis dari semburan lumpur panas dan daerah sekitarnya demi mencegah terjadinya bencana di masa depan," kata Jeffrey dalam siaran pers yang dibuat perusahaan hubungan masyarakat luar negeri yang memiliki cabang di Indonesia.
Tim ilmuwan Rusia memang pernah mempresentasikan kajiannya tentang lumpur Lapindo di Jakarta. Mereka memaparkan pencitraan model tiga dimensi dan menjelaskan bahwa gunung-gunung lumpur yang terbentuk ribuan tahun lalu kini aktif membentuk lumpur panas. Mereka menawarkan teknik poligon untuk memetakan bawah permukaan Sidoarjo.
Bersama Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetya dan petinggi harian sore serta majalah berita terbitan Jakarta, Jeffrey berangkat ke Moskow pada pertengahan tahun lalu. Mereka mendiskusikan temuan 20 ilmuwan Rusia soal lumpur Lapindo.
Pekan lalu dia menggelar simposium yang diakhiri dengan pemutaran film Mud Max. Film yang lebih banyak mengutip pendapat ilmuwan yang pro-bencana alam sebagai faktor penyebab lumpur Sidoarjo itu Ahad (29/5) lalu diputar di TVOne.
Dalam jangka pendek, Jeffrey akan memfasilitasi riset ilmuwan mancanegara. Untuk jangka panjang, dia mendorong terbentuknya Badan Otorita Lumpur Sidoarjo, yang salah satu fungsinya adalah mencari pendanaan internasional. "Bencana ini sangat besar dan butuh bantuan dari luar negeri," katanya.
UNTUNG WIDYANTO