TEMPO Interaktif, Surabaya - Panitia Humanitus Symposium on Indonesia's Mud Volcano 25-26 Mei 2011 di Surabaya, menyediakan panggung kepada 10 ilmuwan mancanegara sebagai pembicara.
Mereka adalah Richard Davies (Durham University), Mark Tingay (Adelaide University), Adriano Mazzini (Oslo University), Hillary Hartnett, Loyc Vanderkluysen, dan Amanda Clarke (Arizona State University), Max Rudolph (University California, Berkeley), Igor Kadurin (Russian Institute Electro Physics), Sergey Kadurin (Odessa National University), serta Wataru Tanikawa (Jamstec, Jepang).
Sementara itu, pembicara dari Indonesia adalah Sukendar Asikin (Institut Teknologi Bandung), Awang Harun Satyana (BP Migas), serta Agus Guntoro dan Sayogi Sudarman (Universitas Trisakti).
Selain itu, sejumlah ahli geologi dan perminyakan hadir sebagai peserta, antara lain Hardi Prasetya serta Sofyan Hadi (BPLS), Yusuf Surachman (salah satu deputi di Bakosurtanal), Bambang Istadi (Lapindo Brantas), Edi Sunardi (Universitas Padjadjaran), dan utusan Badan Geologi, Pertamina, serta lembaga lainnya.
Adakah temuan baru dari paparan ahli luar negeri? "Tidak ada," kata Yusuf Surachman, ahli geofisika yang banyak melakukan penelitian di pesisir selatan Jawa dan Sumatera.
Pendapat senada disampaikan oleh Awang Harun Satyana. Menurut dia, beberapa ilmuwan dan lembaga di Tanah Air pernah melakukan studi soal semburan lumpur panas di Sidoarjo. Misalnya, Adriano Mazzini, yang menjelaskan soal gas-gas yang berhubungan dengan aktivitas vulkanik. Studi Badan Geologi, kata Awang, juga menemukan hal yang sama. "Mereka memang tidak menuliskannya di jurnal ilmiah internasional," kata Awang, yang pernah membuat empat paper ilmiah tentang lumpur Sidoarjo.
Pilihan panitia soal pembicara memicu perdebatan di kalangan pakar ilmu kebumian Tanah Air. Ilmuwan kita, kata Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, ada yang lebih jago dan punya reputasi internasional. Paper dua ahli gempa, Danny Hilman Natawidjaja dan Sri Widiyantoro, pernah dimuat dalam jurnal Nature dan jurnal bergengsi lainnya.
"Memang, mental inlander, terjajah, masih selalu ada di kepala kita. Bahkan, di dunia sains pun, para administrator, birokrat, dan politikus kita tidak bisa menghargai scientist-nya sendiri," kata Andang.
Untuk mendapatkan kajian terbaru, pertemuan ilmiah lanjutan tampaknya harus dilakukan setelah Badan Geologi melakukan survei seismik tiga dimensi. Dari survei ini bakal diketahui monster serta gerowongan yang ada di bawah Sidoarjo, dan para ahli tidak lagi menebak-nebak.
UNTUNG WIDYANTO