TEMPO.CO , Jakarta - Selama ini ultrabook identik dengan laptop mahal. Umumnya, komputer jinjing jenis ini dibanderol dengan harga sekitar Rp 9 juta ke atas.
Bukan saja bahan pembuatnya yang sengaja dipilih untuk menampilkan sosok komputer jinjing yang elegan dan ringan, namun juga 'jeroan'-nya yang wajib menggunakan prosesor Intel.
Pemilihan bahan dan biaya lisensi inilah yang dianggap memicu masih mahalnya harga ultrabook dan membuat konsumen berpikir dua kali untuk membelinya.
Bagi Intel, fenomena seperti itu lazim adanya. Direktur Intel untuk wilayah Asia Tenggara, Uday Marty mengatakan apabila volume ultrabook di pasaran sudah banyak, maka harga akan turun dengan sendirinya.
"Komponen menjadi salah satu pendorong turunnya harga," ujar Uday di Jakarta, Rabu, 27 Juni 2012.
Beberapa komponen yang bisa menekan harga ultrabook apabila diproduksi secara massal di antaranya, panel, display, keyboard, dan sasis yang dimodifikasi dari bahan plastik.
Menurut dia, Indonesia adalah pasar yang sangat potensial untuk memasarkan ultrabook dilihat dari banyaknya generasi muda yang 'melek' gadget, koneksi Internet dan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik.
Mengenai pengembangan teknologi ultrabook ke depan, Uday mengungkapkan nantinya ultrabook akan dipersenjatai dengan sensor gerak dan pengenalan suara.
Misalnya, lanjut dia, ketika Anda memainkan game Angry Birds, Anda tak perlu menyentuh layar atau menggunakan mouse untuk mengarahkan si burung pelontar.
"Anda cukup bergerak seperti menarik dan melepaskan tali ketapel kemudian permainan berjalan dengan baik," ujarnya.
RINI K