Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Gambut Tripa Menuju Maut

image-gnews
Tempo/Zulkarnain
Tempo/Zulkarnain
Iklan

TEMPO.CO , Jakarta--Batok kepala primata itu tergolek begitu saja di bawah batang pohon yang menghitam karena terbakar. Ukurannya tak lebih dari satu setengah kali bola tenis. Tempo sempat memotret batok kepala satwa yang juga hangus itu dari bagian atas ke bawah. Sampai di situ, tak ada yang berkomentar.

Tapi, ketika benda itu hendak diangkat, dua lelaki yang awalnya terdiam sigap mengingatkan. “Jangan dibawa. Itu barang bukti,” kata Indriyanto, aktivis Yayasan Ekosistem Lestari, yang Jumat dua pekan lalu menemani Tempo menelusuri lahan gambut di Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh.

Indriyanto dan Suratman, warga setempat yang menjadi pemandu jalan, sangat yakin bahwa tengkorak itu milik anak orang utan yang tewas terbakar. Soalnya, beberapa bulan lalu, mereka masih melihat dua ekor orang utan di hutan gambut yang hendak disulap menjadi perkebunan sawit. Waktu itu, pepohonan di lahan yang kini dikuasai PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur ini masih ada yang berdiri tegak.

Sepanjang 2011-2012, Yayasan Ekosistem Lestari dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Aceh telah memindahkan enam ekor orang utan dari kawasan gambut Rawa Tripa. Bersama Suratman, Indriyanto turut mengantarkan satwa langka itu ke hutan yang masih utuh di kawasan Aceh Tengah.

Rawa Tripa kini hampir tak mungkin lagi menjadi tempat tinggal orang utan. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan batang dan ranting pohon yang berubah menjadi arang. Di banyak tempat, asap pun masih mengepul. Agar kaki tak amblas tertelan lapisan gambut yang kempis terbakar, pejalan kaki harus meniti batang pohon dan akar yang tersisa. Di tengah lautan arang itu, perangkat GPS sangat membantu memandu perjalanan. “Dulu, di bawah batang dan akar pohon ini saya letakkan bubu untuk menangkap ikan lele," kata Suratman, mengenang.

Setelah menyeberangi kanal selebar lima meter yang memisahkan lahan milik PT Kallista dan PT Surya, Suratman berdiri di tumpukan akar pohon yang tumbang. Dia mengeluarkan teropong, lalu mengintip menara penjaga nun jauh di sana. “Kosong,” katanya. Artinya, siang itu kami aman memasuki lahan ratusan hektare yang sudah dipetak-petak dengan batas berupa kanal tersebut. Pada petak-petak tertentu, bibit pohon sawit tampak sudah tumbuh setinggi rata-rata 50 sentimeter.

***

Sejak Mei lalu, belasan penyidik dari Markas Besar Kepolisian RI dan Kementerian Lingkungan Hidup terus memeriksa manajemen PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur. Penyidik tengah menelisik dua jenis dugaan pelanggaran hukum: pembukaan lahan dengan membakar hutan dan penanaman sawit di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter.

Perkebunan kelapa sawit memang menjadi biang keladi rusaknya lahan gambut Rawa Tripa, juga di tempat lain di Negeri Serambi Mekah. Sebelum dijarah dan dijadikan kebun sawit, pada era 1980-an, lahan gambut di pesisir barat daya Aceh itu berfungsi sebagai bak spons penyimpan air. Gambut menyerap air pada musim hujan, sehingga tak terjadi banjir. Lalu, pada musim kemarau, gambut pelan-pelan mengeluarkan airnya, sehingga tak terjadi kekeringan.

Tak kalah pentingnya, hutan gambut Rawa Tripa menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi orang utan sumatera (Pongo abelii). Sebagian besar populasi orang utan sumatera tinggal di hutan rawa gambut pesisir Aceh yang banyak ditumbuhi palem dan rotan itu. Sisanya menyebar di hutan pedalaman Kawasan Ekosistem Leuser dan di hutan Sumatera Utara.

Hingga awal 1990, orang utan di hutan gambut seluas 62 ribu hektare di Rawa Tripa ini berjumlah 1.000 ekor. Bencana datang ketika pemerintah Orde Baru memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada sejumlah perusahaan swasta pada 1991. Perusahaan-perusahaan itu menggasak hutan gambut, lalu menyulapnya menjadi kebun kelapa sawit.

Kini, ada tujuh perusahaan yang memegang HGU di kawasan Rawa Tripa. Luas lahan garapan mereka masing-masing 3.000-13 ribu hektare. Walhasil, luas lahan gambut yang tersisa hanya sekitar 17 ribu hektare. Para ahli orang utan menilai lahan seluas itu terlalu sempit untuk menampung sekitar 280 orang utan yang diduga masih bertahan di Rawa Tripa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut Ian Singleton, Direktur Konservasi Sumatran Orangutan Conservation Programme, sebagian besar kawasan hutan Rawa Tripa yang dibakar merupakan habitat orang utan. "Sebelumnya kami melihat banyak orang utan di sana," kata dia.
Pada 10 Juni lalu, Ian Singleton diajak oleh Suratman dan Indriyanto melihat tengkorak yang diduga orang utan. Setelah difoto, dia memperlihatkan kepada rekannya, ahli taksonomi. Ternyata batok kepala itu milik monyet macaque, yaitu kera (Macaca fascicularis) atau beruk (Macaca nemestrina).

Puluhan kanal atau drainase yang dibuat perkebunan kelapa sawit juga telah menyedot air yang ada di lahan gambut. Kalaupun tak dibakar, pepohonan yang menghasilkan buah makanan orang utan akan mati kekeringan. Merujuk pada sebuah kajian tahun lalu, Singleton memperkirakan hutan gambut dan orang utan di Rawa Tripa akan musnah pada 2015.

***

Dalam beberapa tahun terakhir, Ali Basyiah selalu melewatkan siang hari dengan bertelanjang dada. Warga Desa Kuala Semayam, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, ini tak tahan terhadap udara panas. Bahkan, pada malam hari, Ali dan anak-istrinya harus tidur dengan menyalakan kipas angin. “Udara makin panas sejak perusahaan kebun kelapa sawit beroperasi di sini," kata Ali, yang kampungnya terletak di pinggir lahan milik PT Kallista Alam.

Menurut pengukuran suhu pada 14 November 2007, suhu di sekitar Rawa Tripa mengalami kenaikan drastis. Pada pukul 09.30, suhu udara sekitar 37 derajat Celsius. Tiga jam kemudian, suhu naik menjadi 43 derajat Celsius. Kini, setelah lima tahun berlalu, Ali merasakan suhu udara di kampungnya makin panas saja.

Bukan hanya suhu yang membuat Ali merana. Penghasilan dia sebagai pencari ikan dan kerang pun terus merosot. Saat hutan gambut Rawa Tripa masih utuh, untuk mencari ikan, Ali tinggal meletakkan belasan bubu di bawah pohon di hutan rawa. Dulu, dalam sehari, dia rata-rata menangkap 30 kilogram lele dan tiga karung kerang. Musim panen ikan itu sudah lama lewat. Kini, Ali paling banter hanya bisa menangkap 10 kilogram lele dalam sehari. Itu pun dia harus bersusah payah mencarinya hingga ke hulu sungai.

Direktur Wahana Lingkungan Indonesia Hidup Aceh, T.M. Zulfikar, mengatakan bahwa pengalaman warga sekitar Rawa Tripa dalam lima tahun terakhir bertolak belakang dengan program Aceh Green yang dicanangkan Gubernur Irwandi Yusuf setelah dilantik pada awal 2007.

Zulfikar pun membeberkan data. Sebelum 2007, kerusakan hutan di Aceh rata-rata 20 ribu hektare per tahun. Sejak 2007, kerusakan hutan di Aceh meluas, menjadi 23-40 ribu hektare per tahun. "Pemerintah Aceh seperti menjilat ludahnya sendiri," kata Adnan N.S., dari Dewan Pengawas Yayasan Ekosistem Lestari.

UNTUNG WIDYANTO

Berita lain:
Ini Hewan Paling Terancam Punah

Ekstrak Tembakau, Senjata Pamungkas Basmi Ulat

Memilih Pasangan Lewat Kecocokan Gen

Kata Wozniak Soal Pertarungan iOS dan Android

Steve Wozniak Bertandang ke Jakarta

Kutu Air Ini Diberi Nama Bob Marley

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


4 Desember 2023 Hari Apa? Ini Informasinya

4 Desember 2023

Tanggal 4 Desember 2023 hari apa? Hari besar yang diperingati berkaitan tentang perlindungan satwa liar dan TNI AD, ini penjelasan selengkapnya. Foto: Canva
4 Desember 2023 Hari Apa? Ini Informasinya

Tanggal 4 Desember 2023 hari apa? Hari besar yang diperingati berkaitan tentang perlindungan satwa liar dan TNI AD, ini penjelasan selengkapnya.


Hari Konservasi Alam, Belantara Ajak Generasi Muda Kampanye Pelestarian Keanekaragaman Hayati

11 Agustus 2023

Belantara Foundation dan Program Studi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan memperingati Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) yang jatuh pada 10 Agustus. (Belantara)
Hari Konservasi Alam, Belantara Ajak Generasi Muda Kampanye Pelestarian Keanekaragaman Hayati

Inovasi bioteknologi untuk mendukung pelestarian keanekaragaman hayati sudah sangat diperlukan.


Peran Besar Perempuan Dalam Konservasi Alam yang Perlu Disadari

23 Desember 2022

Herlina Hartanto, Noviar Andayani, dan Meizani Irmadhiany ditemui dalam diskusi bertajuk 'Perempuan Untuk Alam' di Bentara Budaya Jakarta, pada Kamis, 22 Desember 2022. TEMPO
Peran Besar Perempuan Dalam Konservasi Alam yang Perlu Disadari

Perempuan ternyata punya peran besar dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Simak alasannya.


Wisata Alam ke Pulau Curiak, Belajar tentang Bekantan dan Tanam Buah Rambai

1 Juni 2022

Seekor bayi bekantan yang baru saja lahir di Pulau Curiak, Kabupaten Barito Kuala, bersama induknya. (ANTARA/Firman)
Wisata Alam ke Pulau Curiak, Belajar tentang Bekantan dan Tanam Buah Rambai

Tim SBI dan ULM didukung pemerintah daerah serta sektor lainnya berkomitmen mengembangkan wisata alam minat khusus Pulau Curiak.


Ikon Wisata Great Barrier Reef Australia Terancam Pemutihan Terumbu Karang

30 Maret 2022

Kondisi terumbu karang di sepanjang garis transek yang dikenal sebagai One Tree Reef, Pulau Capricorn, Great Barrier Reef, Australia, 29 November 2016. Pemutihan terumbu karang merupakan berubahnya warna alami karang menjadi putih pucat. REUTERS
Ikon Wisata Great Barrier Reef Australia Terancam Pemutihan Terumbu Karang

Kehidupan terumbu karang sepanjang 500 kilometer di Great Barrier Reef tersebut mulai kehilangan warna.


Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Resmikan Pembukaan Orchidarium Ranu Darungan

26 Maret 2022

Seorang petugas Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru beristirahat di Taman Anggrek Ranu Darungan Dusun Darungan Desa Pronojiwo Kecamatan Pronojiwo Kabupaten Lumajang Jawa Timur, Jumat, 11 Desember 2020. TEMPO/Abdi Purmono
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Resmikan Pembukaan Orchidarium Ranu Darungan

Orchidarium Ranu Darungan dibuka untuk umum sebagai destinasi wisata minat khusus, seperti penelitian anggrek dan flora lain serta pemantauan burung.


NTT Jadi Tuan Rumah Hari Konservasi Alam Nasional pada Agustus 2021

12 Februari 2021

Pantai Lasiana Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tempo/Jhon Seo
NTT Jadi Tuan Rumah Hari Konservasi Alam Nasional pada Agustus 2021

Hari Konservasi Alam Nasional digelar di Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang dan Pantai Lasiana di Kota Kupang, NTT.


Polisi Buru Komunitas Pecinta Satwa Dalam Kasus Penjualan Hewan Langka di Bekasi

28 Januari 2021

Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus saat merilis penangkapan pedagang hewan langka/ Tempo/Julnis
Polisi Buru Komunitas Pecinta Satwa Dalam Kasus Penjualan Hewan Langka di Bekasi

Tersangka kasus penjualan hewan langka YI mengaku mendapatkan orangutan dari temannya di komunitas pecinta satwa di media sosial.


Terancamnya Pulau Siberut, Galapagos Asia

13 Oktober 2020

Aktivitas loading kayu HPH salah satu perusahaan di Pantai Tinitit Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat akhir Juli lalu (Tempo/Febrianti).
Terancamnya Pulau Siberut, Galapagos Asia

Pulau Siberut yang ada di Kepulauan Mentawai terancam karena eksploitasi hutan.


Wildlife Photography, ini Tips Pentingnya

2 Juli 2020

Jaguar berusaha menyeret caiman ke daratan agar bisa menjadi santapannya. Fotografer bernama Chris Brunskill mengambil gambar dari kejadian ini. Dailymaiol.co.uk
Wildlife Photography, ini Tips Pentingnya

Gusti Wicaksono, wildlife photographer muda berbagi tips memotret hidupan alam liar. Gusti membicarakannya di acara Obrolan Online Tempo Institute.