TEMPO.CO, Jakarta - Penerbit Penebar Swadaya, yang sering mempublikasikan buku hobi dan pertanian, tidak ingin ketinggalan dengan berembusnya tren buku digital dua tahun terakhir. “Kami sudah melakukan riset mengenai e-pub dengan mengirim tim ke Malaysia,” kata M.H. Riski, Kepala Divisi Artistik Penebar Swadaya.
Sebaliknya, penerbit Mizan sudah menebar benih buku digital sekitar satu dekade lalu. Saat itu perusahaan meluncurkan e-book Wasiat Sufi melalui situsnya. “Situs kami sempat crash karena terlalu banyak yang mengunduh,” ujar Pangestu Ningsih, chief executive officer Mizan Digital Publishing. Sejak dua tahu lalu, Mizan lantas benar-benar menggeluti bisnis baru ini. Hingga sekarang hampir seribu judul buku yang didigitalisasi, khususnya judul buku terlaris.
“Penjualan buku digital kami tumbuh secara drastis pada tahun lalu, naik sekitar 30 persen dari tahun sebelumnya,” kata Pangestu. Namun, secara keseluruhan, buku digital memang masih berkontribusi kecil pada total penjualan buku Mizan, yaitu sekitar 5 persen.
Untuk memasarkan buku digital terbitannya, Mizan menggandeng sejumlah toko penerbitan online, seperti Scoop dan Wayang Force, yang muncul sejak dua tahun terakhir. Toko lainnya misalnya Indobook dan Qbaca, yang dikelola Telkom.
Dimas Surya Yaputra, salah satu pendiri Wayang Force, mengatakan dia dan tiga rekannya mendirikan start-up ini karena berkaca dari booming buku digital di luar negeri. “Kami melihat Indonesia pasti ke arah ini juga,” kata dia. “Mungkin akan meledak sekitar 5-10 tahun lagi.” Saat ini, Dimas mengklaim, Wayang Force telah memiliki sekitar satu juta pengguna, dengan pertumbuhan angka unduhan mencapai 20-30 persen tiap bulan. Pada toko buku digital seperti ini, pembagian hasil antara penerbit dan pengelola toko sekitar 50-50.
Pertumbuhan yang cerah juga diklaim terjadi pada toko Indobook, yang baru diluncurkan pada pertengahan tahun ini. “Angka unduhan kami sudah mencapai 30 ribu per bulannya,” kata Budiasto Kusuma, chief marketing officer PT Mitra Komunikasi Nusantara yang mengelola toko ini. Berbeda dengan buku digital lainnya, Indobook justru di-bundling di dalam tablet Cyrus, yang merupakan produk dari perusahaan yang sama, sebagai nilai tambah.
Untuk pengembangan, Pangestu mengatakan, hambatan yang terjadi adalah sebagian penulis masih meragukan keamanan file digital dari buku mereka. Padahal, isu ini secara teknologi sudah selesai. “Kami memiliki sistem enkripsi sendiri, sehingga file tidak dapat di-decrypt (dibuka) di luar aplikasi Wayang Force,” kata Dimas. Ini diamini Budiasto.
Hambatan kedua, Pangestu menambahkan, adalah masalah pembayaran. Belum banyak masyarakat yang memiliki kartu kredit untuk online banking. Sedangkan penggunaan anjungan tunai mandiri sebagai cara pembayaran, seperti yang dianut Qbaca, dinilai cukup merepotkan.
Sedangkan untuk mendongkrak penjualan, Pangestu mengatakan penerbit bisa mensiasatinya dengan memanfaatkan iklan, untuk mensubsidi buku. Buku digital memberikan kemudahan kepada para penerbit untuk menjangkau pasar yang lebih luas, sekaligus memangkas biaya percetakan dan distribusi. Untuk konsumen, ini berimbas pada harga jual buku yang jauh lebih murah. “Lebih murah sekitar 30-60 persen dari harga versi cetaknya,” kata dia. “Ini tergantung faktor seperti reputasi penulis, dan sejarah penjualan versi cetaknya.”
RATNANING ASIH
Berita Terkait:
QBaca, Aplikasi Toko Buku Digital Telkom
Kenalkan, Printer untuk Para Fotografer
Game Pad Wii U
Cina Keluarkan Izin Penjualan iPhone 5
Zynga dan Facebook Perbarui Perjanjian Kerja Sama