TEMPO.CO, Jakarta - Kamera jebak (camera trapping) terbukti efektif untuk mengambil gambar dan memantau populasi mamalia besar, seperti harimau, badak, dan macan tutul. Namun, metode ini belum banyak digunakan untuk menghitung populasi komodo--kadal terbesar sejagat--dan jenis reptil atau amfibi lainnya.
Mamalia termasuk makhluk berdarah panas atau homoioterm sehingga lebih mudah dikenali oleh kamera jebak lantaran kamera ini diaktifkan dengan sensor panas. Berbeda dengan reptil dan amfibi yang merupakan hewan berdarah dingin atau poikiloterm.
Kamera jebak biasa dipasang di pepohonan di daerah yang kerap dilewati hewan yang sedang diamati. Kamera akan mengambil gambar saat gerakan hewan dikenali oleh detektor gerakan yang umumnya dipicu oleh sensor inframerah yang mendeteksi panas.
"Ini menjadi masalah untuk reptil dan amfibi yang berdarah dingin karena suhu tubuhnya sama dengan lingkungan sekitarnya," ujar Achmad Ariefiandy dari Komodo Survival Program, seperti dikutip laman Livescience, Senin 1 April 2013.
Namun, penelitian terbaru yang dilakukan Arief bersama tim peneliti dari Taman Nasional Komodo menunjukkan tren sebaliknya. Kamera jebak terbukti sama efektifnya untuk menghitung populasi komodo. Bahkan metode ini jauh lebih efektif dibanding cara lama yaitu menggunakan perangkap kandang.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal PLoS ONE ini bertujuan mengevaluasi efektivitas kamera jebak untuk memantau status populasi komodo melalui pendekatan situs hunian. Tim peneliti memasang kamera jebak dan perangkap kandang di 181 lokasi perangkap di enam titik habitat komodo di empat pulau di kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur.
Hasilnya, penelitian ini menunjukkan suhu tubuh komodo tampaknya cukup hangat untuk dideteksi oleh inframerah pada kamera jebak, meskipun komodo lebih banyak aktif pada siang hari ketika sensor inframerah tidak selalu diperlukan. "Namun, kadal lain tidak dapat direkam dengan mudah," Arief menambahkan.
Penggunaan kamera jebak juga dinilai menguntungkan dari segi operasional karena dapat menghemat jumlah tenaga peneliti dan biaya pemantauan. Para peneliti tidak perlu lagi memasang perangkap yang besar dengan umpan daging kambing lalu melepaskan kembali komodo yang tertangkap dan ditandai.
Arief mengatakan, temuan ini penting mengingat populasi komodo, dan banyak spesies kadal dan amfibi lainnya, semakin terancam oleh aktivitas manusia. Kamera jebak bisa membantu para ilmuwan untuk menjaga dan memonitor komodo dan hewan reptil lainnya.
Tidak seperti kebanyakan kadal, komodo (Varanus komodoensis) adalah predator puncak. Kadal yang ada sejak zaman purba ini bisa menyerang dan memakan apa saja, termasuk rusa, kambing, babi, anjing, dan terkadang manusia. Komodo mencapai posisi teratas rantai makanan melalui ukuran tubuhnya yang besar, air liurnya yang beracun, dan deretan gigi yang tajam.
Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) mengelompokkan komodo sebagai satwa terancam punah. Perilaku makan komodo terbilang menakutkan. Kebun Binatang Smithsonian di Amerika Serikat mencatat, komodo tidak segan merobek tubuh mangsanya dengan cepat menggunakan sekitar 60 gigi bergerigi milik mereka.
Komodo jantan dewasa, menurut penelitian ini, dapat tumbuh hingga sepanjang tiga meter dan berbobot 87 kilogram. Hewan berjuluk naga ini bisa makan hingga 80 persen dari berat tubuhnya dalam sekali lahap.
Jika terancam, komodo dapat dengan cepat memuntahkan sebagian besar isi perut mereka dan lari. Kecepatan tertinggi komodo sekitar 20 kilometer per jam. Rekor yang cukup mencengangkan untuk ukuran spesies hewan melata.
Komodo muda menghadapi kehidupan yang sulit, terutama soal kanibalisme. Mereka sering dimangsa oleh komodo dewasa. Komodo muda menyediakan sekitar 10 persen dari total makanan komodo dewasa.
LIVESCIENCE | MAHARDIKA SATRIA HADI