TEMPO.CO, Columbia - Baru-baru ini para ilmuwan berhasil mengungkap pola hidup masyarakat dan persebaran suku-suku asli di pedalaman hutan Amazon. Berdasarkan pantauan menggunakan satelit, pola hidup mereka tak banyak berubah dibandingkan dengan kehidupan nenek moyang mereka.
Sayangnya, ujar Robert Walker, pakar antropologi dari University of Missouri di Columbia, keberadaan suku asli itu semakin terdesak oleh peradaban dan pembangunan dunia modern. Studi dilakukan, menurut dia, untuk melindungi kelangsungan suku-suku tersebut dari kepunahan. (Baca: Menelusuri Hutan Amazon, David Beckham Takut Katak)
“Jumlah mereka semakin sedikit,” ujar Walker yang menjadi pemimpin penelitian itu, seperti dikutip Livescience, Kamis, 6 November 2014. Studi itu juga telah dimuat di jurnal online Royal Society Open Science awal bulan ini.
Hutan Amazon merupakan hutan terbesar dan memuat keanekaragaman hayati yang kaya. Setidaknya terdapat 10 persen spesies dunia di hutan ini. Suku-suku terasing tersebut, kata Walker, tinggal di pedalaman Amazon yang cukup sulit dijangkau. “Memakan biaya besar jika harus meneliti langsung ke lapangan.”
Selain mengambil data mengenai suku asli, Walker mengatakan pemantauan ini juga dilakukan untuk mencari solusi perlindungan keberadaan suku-suku tersebut. Sebab, menurut dia, pembangunan dunia modern yang massif dapat mengancam keberadaan mereka dan ekosistem hutan.
Menurut Walter, pemantauan melalui satelit dipilih karena biaya yang dikeluarkan tak terlalu mahal. Pantauan lapangan dinilai akan memakan waktu yang cukup lama dan dapat menanamkan rasa takut di antara masyarakat adat.
Para peneliti berfokus pada kelompok masyarakat adat yang terkonsentrasi di dekat hulu Sungai Envira, terletak di perbatasan Brasil dan Peru. Kelompok tersebut termasuk suku Mascho-piro, kelompok nomaden berburu yang tinggal di hutan lebat Madre di Dios.
Para peneliti menyisir gambar satelit untuk melihat lima desa yang terisolasi dan terancam oleh pembangunan pemerintah Brazil. Walker mengatakan para peneliti memeriksa ukuran desa, rumah-rumah, dan kebun masyarakat adat di kelima lokasi tersebut. “Desa kecil terdiri dari 50 orang, sedangkan desa besar 300-an orang.”
Menariknya, seperti ditulis Walker di dalam jurnal, terdapat beberapa desa yang memiliki populasi padat meskipun terdapat di pedalaman hutan. “Satu kelompok terdiri lebih dari 500-an orang,” tulis Walker. Dia berpendapat hal tersebut mungkin disebabkan oleh ikatan kebersamaan untuk mendapatkan makanan dan melindungi satu sama lainnya dari dunia luar.
Setelah studi ini, para peneliti ingin melihat dalam jangkauan yang lebih besar, yakni pada 29 desa lainnya. “Untuk melihat lebih dalam ekologi mereka,” kata Walker. Simak berita tekno lainnya di sini.
AMRI MAHBUB
Berita lain
Rusa 'Vampir' Muncul Lagi di Afganistan
Google Perbarui Tampilan Gmail di Android
Kiamat Ketika Matahari Mengembang dan Memakan Bumi
Aplikasi Jongla Fokus Garap Pasar Indonesia
Tongkat Sapu Unik Rancangan Mahasiswa Telkom