TEMPO.CO, Exeter - Rasa cinta dan afeksi bisa mempengaruhi kerja otak. Sebelumnya sudah diketahui bahwa perasaan disayangi bisa menurunkan respons otak terhadap rasa sakit. Untuk pertama kalinya, para peneliti dari University of Exeter, Inggris, mengetahui petunjuk-petunjuk serupa tentang cinta juga membuat respons otak terhadap ancaman dan bahaya ikut menurun.
Laporan yang dimuat dalam jurnal Social, Cognitive, and Affective Neuroscience menyebut rasa cinta dan kasih sayang bisa membuat manusia tenang dan bereaksi lebih baik dalam merespons ancaman dan kondisi tertekan. Hal ini terbukti bisa membantu individu yang mudah resah. (Baca: Wanita Ini Jatuh Cinta dengan Pendonor Sperma)
Anke Karl, peneliti senior bidang psikologi dari University of Exeter menuturkan kondisi mental tertentu seperti posttraumatic stress disorder (PTSD) dicirikan dengan perilaku atau reaksi berlebihan terhadap informasi yang dinilai menjadi ancaman. "Kondisi ini diasosiasikan dengan respons emosional negatif berlebihan, pengaktifan amygdala, serta terbatasnya kemampuan untuk mengontrol emosi dan ketenangan," ujar Karl, seperti ditulis di laman University of Exeter, Senin, 10 November 2014.
Dalam studi itu, peneliti mempelajari sekelompok partisipan dengan alat magnetic resonance imaging (MRI) untuk meneliti respons otak mereka. Partisipan yang berjumlah 42 orang itu diberikan gambar-gambar berisi sejumlah orang tengah menerima dukungan emosional dan afeksi.
Studi itu menunjukkan bahwa amygdala, bagian otak yang bertugas memonitor adanya ancaman, tidak berfungsi dengan baik saat melihat gambar menyenangkan itu. Amygdala kemudian diketahui juga tidak memberikan respons pada gambar yang menunjukkan ekspresi wajah atau kata-kata mengancam pada sesi berikutnya. (Baca: Volume Korteks Otak Mempengaruhi Pilihan Risiko)
Menurut Karl, temuan baru tentang pengaruh emosi cinta dan kasih sayang pada otak itu bisa membantu penyembuhan kasus trauma. Pada beberapa kasus, tingkat kesembuhan trauma psikologis disebutkan berkorelasi dengan seberapa besar dukungan sosial yang diterima penderita. "Kami mengembangkan temuan ini dalam memperbaiki terapi bagi penderita PTSD untuk meningkatkan rasa aman dan nyaman ketika mengatasi memori traumatik," kata Karl.
SCIENCEDAILY | EXETER | GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Berita Terpopuler:
Di Beijing, Jokowi Sentil Kualitas Produk Cina
Ini Kata PDIP Pasca-Kesepakatan Dua Koalisi
Persib Juara, Ridwan Kamil Akhirnya Gunduli Rambut