PT Inuki tidak bisa melanjutkan produksi radioisotop karena izinnya dicabut oleh Batan dengan alasan keselamatan. Fasilitas produksi badan usaha milik negara itu itu sudah uzur dan harus segera diganti. "Solusinya mirip dengan perusahaan Merpati yang mendapat suntikan dana. Untuk PT Inuki, estimasinya sekitar 100 miliar," kata Djarot. (Baca juga: Bangun Reaktor Nuklir Eksperimental, Batan Butuh Rp 1,6 Triliun)
Direktur Utama PT Inuki Yudiutomo Imardjoko membenarkan kabar terjadinya kelangkaan produksi radioisotop di dalam negeri. Menurut Yudiutomo, target produksi radioisotop di dalam negeri sulit dipenuhi karena reaktor Batan hanya bekerja 20 minggu per tahun. "Pemenuhan untuk produksi 32 minggu yang tersisa itu harus diambil dari luar negeri," kata Yudiutomo ketika dihubungi Tempo.
Masalah lain yang mengganjal produksi radioisotop di dalam negeri adalah peralatan yang sudah tua. "Peralatan itu sudah ada sejak 1985, jadi memang harus direvitalisasi," kata Yudiutomo. Untuk merevitalisasi seluruh peralatan diperlukan biaya hingga Rp 140 miliar. "Tapi untuk yang penting-penting, dengan 10 persen dari biaya total atau sekitar Rp 15 miliar saja kami sudah bisa jalan," katanya.
Yudiutomo mengatakan jumlah produksi radioisotop PT Inuki mencapai 50 Currie per minggu. "Kebutuhannya kira-kira 100 Currie per minggu," ujarnya.
Meski kesulitan dalam produksi, Yudiutomo menjamin pasokan radiosotop ke rumah sakit terus berjalan. "Kelangkaan pasokan ke rumah sakit itu tidak ada. Mereka selalu dapat," katanya. Menurut Yudiutomo, ada 16 rumah sakit di Indonesia yang mendapatkan pasokan radioisotop. "Kami bekerja sama dengan Australia untuk memenuhi kebutuhan itu," katanya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Terpopuler:
Peneliti ITB: Ponsel Lokal Terbentur Citra Buruk
Kompetisi Drone Nasional Diikuti 13 Tim
Tiga Tokoh Indonesia Raih Kenton Miller Award
Kenapa Joging Bikin Kita Awet Muda?
Robot Philae Mendarat di Komet, Lalu 'Tertidur'