TEMPO.CO , Yogyakarta:Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Teguh Yuwono, mengatakan, majelis hakim Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, sejatinya bisa melakukan uji DNA kayu dalam kasus nenek Asyani. Uji DNA kayu tersebut untuk menelusuri asal-usul kayu, apakah berasal dari hutan negara atau hutan rakyat.
"Hakim atau jaksa bisa meminta UGM untuk melakukan uji DNA kayu," katanya kepada Tempo, Senin 27 April 2015.
Meski begitu, kata Teguh, uji DNA kayu belum populer di Indonesia. Bahkan belum pernah dipakai oleh lembaga peradilan untuk membuktikan asal-usul kepemilikan kayu.
Padahal, uji DNA kayu hasilnya lebih akurat dibandingkan hanya membandingkan corak kayu dengan mata telanjang seperti yang dilakukan dalam persidangan Asyani. Uji DNA kayu juga bisa bermanfaat lebih besar untuk melacak asal pembalakan liar. Misalnya, menelusuri asal-muasal kayu merbau yang diekspor Malaysia ke Indonesia. “Padahal Malaysia tidak punya hutan merbau,” katanya.
Menurut Teguh, uji DNA kayu belum populer karena membutuhkan biaya dan waktu. Apalagi pemerintah Indonesia belum menetapkan uji DNA dalam sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).
Legalitas asal kayu masih dibuktikan dengan kepemilikan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Untuk kayu hutan negara, salah satunya harus memiliki dokumen Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) yang diterbitkan Dinas Kehutanan. Sedangkan untuk kayu hutan rakyat harus memiliki dokumen Surat Keterangan Asal-usul yang dibuat oleh kepala desa/lurah.
SVLK di Indonesia, Teguh menambahkan, masih berbasis dokumen. Sehingga, apabila dokumen izin kayu lengkap, maka, kayu dianggap legal. Padahal proses penerbitan berbagai dokumen tersebut bisa saja melalui cara-cara yang tidak ideal atau pemalsuan.
Majelis hakim menghukum Asyani dengan percobaan 15 bulan karena dianggap bersalah memiliki 38 papan kayu jati dari kawasan hutan tanpa dilengkapi dokumen. Sejatinya, majelis hakim memvonis Asyani dengan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari penjara.
Warga Desa/Kecamatan Jatibanteng, Situbondo itu dianggap melanggar Pasal 12d juncto Pasal 83 ayat 1a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Nenek Asyani menyatakan kalau 38 papan kayu jati tersebut berasal dari ladang miliknya sendiri. Kuasa hukum nenek Asyani, Supriyono, saat persidangan telah meminta majelis hakim melakukan uji DNA kayu tersebut. Namun permohonan tersebut tidak dikabulkan.
IKA NINGTYAS