Respons berbeda dilontarkan Head of Public Relations Blue Bird Group Teguh Wijayanto. Menurutnya, jika ada aplikasi transportasi ingin serius membangun usaha armada taksi sendiri seharusnya benar-benar diwujudkan secara fisik. "Tidak semudah bikin aplikasi saja. Pertanggungjawaban keamanan dan asuransi bagaimana ke konsumen?," kata Teguh Rabu lalu.
Teguh mengkritik bahwa operator aplikasi transportasi itu belum tentu membayar asuransi kesehatan atau kecelakaan. Atau, kata dia, mereka tidak memantau secara ketat praktek prekrutan sopir karena mereka tidak bertanggungjawab langsung.
Namun hal ini disanggah Kiki. Ia mengatakan bahwa pihaknya memberikan asuransi penuh kepada pengemudi dan penumpang GrabTaxi. Begitu juga dengan Go-jek. Menurut Nadiem pihaknya memberikan asuransi kecelakaan yang berlaku pada saat mengerjakan tugas Go-Jek. "Seperti menjemput atau mengantar pelanggan. Selama ini belum ada kasus kecelakaan," katanya.
Bisnis aplikasi transportasi di Jakarta sebenarnya memang tidak berjalan mulus. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Benjamin Bukit secara terang mencap mereka sebagai kendaraan ilegal karena dianggap beroperasi tanpa izin. Benjamin mengatakan belum ada aturan yang memayunginya."Peraturan Gubernur, Peraturan Presiden atau undang-undangnya tidak ada. Aturan ini diperlukan sebagai tanggung jawab operator dalam melayani konsumen," katanya Kamis lalu.
Pemerintah Jakarta menurut Benjamin akan bertemu dengan pihak Lantas Polda Metro Jaya dan Kemenkominfo untuk membicarakan masalah ini. Pasalnya, ditambahkan dia, eksekusi bisa dilakukan oleh dua instansi tadi. "Kalau mau diblok aplikasinya ya itu hak Kemenkominfo, kalau secara hukum ya polisi" ujar Benjamin.