TEMPO.CO, Bandung - Pakar cuaca dari ITB Armi Susandi mengatakan, hujan yang turun di lokasi kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan merupakan hujan asam. Hujan itu mengandung zat asam tinggi. Dampaknya membuat korosi kendaraan hingga mencemari kolam air.
Hujan asam itu, kata Armi, mengandung polusi asap kebakaran hutan. Hujan seperti itu akan berlangsung selama 1-2 bulan, hingga seluruh polutan di awan dari asap kebakaran hutan habis dan air hujan kembali bersih. "Untuk air di sungai relatif aman karena mengalir, tapi di kolam atau waduk bisa membuat ikan pingsan," ujarnya di gedung Balai Pertemuan Ilmiah ITB, Jumat, 30 Oktober 2015.
Adapun menurut dosen Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB Puji Lestari yang meneliti polusi asap dari kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan sejak 2010 hingga sekarang, udara kotor itu banyak mengandung karbon organik yang berbahaya. "Di udara komposisinya mencapai 80 persen, sisanya karbon jenis lain," ujarnya. Karbon itu seperti gas karbon dioksida (CO2), nitrous oksida (N2O), nitrogen oksida (NOx), dan karbon monoksida (CO).
Selain itu, ada unsur lain yang lebih berbahaya karena jumlahnya sangat banyak dan wujudnya sangat halus, yakni partikulan logam berat. Ukuran partikel itu dari 2,5 hingga 0,1 mikron, seperti krom (Cr), kadmium (Cd), dan nikel (Ni).
Sebelumnya diberitakan, hujan yang mengguyur wilayah Sumatera dan Kalimantan pada Kamis, 29 Oktober 2015, langsung membuat kualitas udara di daerah tersebut membaik.
Kabut asap akibat kebakaran hutan selama berhari-hari, mulai berkurang meski masih jauh dari normal. "Hujan yang cukup merata selama tiga hari terakhir menyebabkan jarak pandang dan kualitas udara membaik di Sumatera dan Kalimantan," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Jumat 30 Oktober 2015 pagi.
Dia berharap pertumbuhan awan di wilayah-wilayah yang terpapar asap terus meningkat. Hingga Kamis sore lalu, satelit mendeteksi satu titik api atau hostspot di wilayah Kalimantan Selatan. Di Sumatera, masih terpantau adanya 148 titik api, yakni di Bengkulu, Lampung, Sumatera Barat, dan terbanyak di Sumatra Selatan sejumlah 109 titik.
Menurut Armi, asap kebakaran hutan di Indonesia mempercepat pembentukan awan dan turunnya hujan di Sumatera dan Kalimantan. Asap itu berfungsi seperti garam pada proses hujan buatan. "Kalau sudah ada uap air dari Laut Cina Selatan, maka asap akan mempercepat pembentukan awan," ujarnya.
Ciri khas hujan seperti itu, kata Armi, berupa hujan lebat. "Sekarang sudah begitu di sebagian Sumatera," ujarnya. Normalnya, musim hujan ditandai dengan intensitas ringan, kemudian sedang, baru mencapai puncaknya. Berdasarkan model cuaca yang dibuatnya, puncak musim hujan itu bakal terjadi pada Desember mendatang.
Dari pemodelan cuaca itu juga, kata Armi, pada Oktober ini di sebagian wilayah Indonesia sudah mulai hujan dengan intensitas atau curah hujan sedang, yakni kurang dari 50 milimeter per dasarian atau per 10 hari. "Sekarang langsung mulai dengan hujan lebat, sekitar 100 hingga bisa lebih dari 150 milimeter per dasarian," ujarnya.
Hujan lebat ini akan mengguyur wilayah Indonesia per akhir Oktober hingga April 2016. "Setiap hari bakal hujan lebat, sekarang harus siap-siap menghadapi banjir," ujarnya. Hujan itu bisa langsung lebat karena pergeseran musim dari kemarau ke hujan.
Temperatur permukaan laut Indonesia juga kini terpantau lebih hangat sehingga pembentukan awan menjadi lebih banyak. "Pembentukan awan oleh asap kebakaran hutan juga menambah di awal-awal musim yakni September hingga Desember," ujarnya. Puncak musim hujan kali ini menurut Armi pada Januari 2016.
ANWAR SISWADI