TEMPO.CO, Jakarta - Dalam Konferensi Perubahan Iklim COP21 di Paris, Prancis, anggota negara Climate Vulnerables Forum menyuarakan agar dunia menyepakati ambang batas kenaikan suhu global dari yang sebelumnya 2 derajat Celsius menjadi 1,5 derajat Celsius.
Negara anggota forum itu, seperti Maladewa, Tanzania, Filipina, Vanuatu, Madagaskar, dan Saint Lusia, yang merupakan negara-negara kepulauan, menekankan kenaikan suhu 2 derajat belum bisa menyelamatkan mereka.
"Kami akan tetap tenggelam," demikian yang tertulis dalam Jurnal ECO, Selasa, 2 Desember 2015. Jurnal ini diterbitkan oleh gabungan lembaga non-pemerintahan ini mengabarkan perkembangan terbaru mengenai negosiasi yang berlangsung selama di COP21 Paris.
Linh Do, editor ECO, menyatakan bahwa garis pertahanan iklim global harus diatur lebih ketat. Yakni, dengan cara menurunkan ambang batas yang ada. Menurut dia, angka 2 derajat Celsius masih akan tetap mencair dan menghancurkan ekosistem terumbu karang. "Setidaknya kita harus meminimalisir dampaknya," tulis dia.
Kabar baiknya adalah Structured Expert Dialogue (SED), forum para ahli di COP21 Paris, menyimpulkan bahwa angka 1,5 derajat masih sangat masuk akal. Yakni, melalui pengurangan emisi dan penekanan defrostasi, serta pemakaian secara masif energi baru-terbarukan yang rendah karbon.
Pada 2009, tepatnya di COP15 Kopenhagen, para pemimpin dunia memutuskan untuk bekerja sama dalam menjaga pemanasan global. Yakni, berada di angka 2 derajat Celsius.
Meski begitu, masih banyak negara yang terancam. Misalnya, negara-negara anggota Climate Vulnerable Forum, yang memiliki kondisi geografis kepulauan.
Karena itu, dalam COP15 tersebut pula menetapkan, bahwa ambang batas 1,5 derajat Celsius perlu dipikirkan ulang. Hal ini untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB di Paris untuk memutuskan apakah atau tidak untuk mengadopsi batas 1,5 derajat celcius pemanasan lebih ambisius.
AMRI MAHBUB (PARIS)