TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia akan memanfaatkan sektor perdagangan kayu dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Caranya, mempromosikan perdagangan kayu legal. "Ini bisa menghentikan aliran kayu haram," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Putera Parthama dalam konferensi pers pada Konferensi Perubahan Iklim ke-21 Paris, Prancis, Kamis, 3 Desember 2015.
Putera mengatakan Indonesia pernah mendapat predikat buruk akibat pembalakan liar. Kejahatan ini marak terjadi sepanjang 1999-2005, yang mengakibatkan negara merugi jutaan dolar AS dan menghancurkan jutaan hektare hutan. "Juga menimbulkan konflik sosial," ujarnya. Inilah yang membuat hutan rusak serta menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan.
Situasi tersebut mendorong Indonesia mengembangkan sistem pencegahan beredarnya kayu ilegal. Yakni dengan membangun sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Sistem ini, Putera mengklaim, dapat menekan angka peredaran kayu ilegal di pasar internasional. "Pasar global tak mau beli kayu kalau tak ada cap 'legal'," ujarnya. Dia berharap, dengan tak bisa dipasarkannya kayu ilegal, pembalakan liar juga akan berkurang.
SVLK, Putera menjelaskan, dibangun melalui proses multipihak yang sangat panjang. Sistem ini berjalan akuntabel dan transparan. Pemantau independen pun bisa terus memonitor jalannya sistem.
Dengan adanya SVLK dan bantuan internasional, Putera optimistis rantai perdagangan rantai kayu ilegal bisa dipotong. "Hutan pun aman," ujarnya.
Terkait dengan itu, saat ini Indonesia telah bersepakat dengan Uni Eropa dan Australia dalam hal penegakan hukum, perbaikan tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan, yang juga menyertakan SVLK di dalamnya. Perjanjian tersebut akan diimplementasikan sekitar pertengahan tahun depan. Dalam waktu dekat, kerja sama dengan Cina, Jepang, dan Korea Selatan juga akan terjalin.
AMRI MAHBUB (PARIS)