Beberapa bulan sebelum fenomena itu terjadi, larangan menatap langsung Gerhana Matahari Total semakin kuat didengungkan. Bila sebelumnya ada petunjuk, masyarakat boleh melihat gerhana, asal tak melihat matahari langsung, kini semua itu dipergawat. Kaca mata gerhana, yang terbuat dari film yang sudah "dicuci", pun dilarang diperjual-belikan.
Sampai-sampai pemerintah menyita lebih dari tiga ribu kaca mata produksi PD Besar Bandung. "Sebanyak 18 ribu produksi yang belum sempat diedarkan, kami musnahkan," kata Sugiat, juru bicara PD Besar kepada Tempo 1983 silam.
Pejabat Gubernur Jawa Tengah Ismail ikut meminta penduduk segera masuk ke rumah, begitu terdengar sirene. Masyarakat diminta menutup jendela, genteng dan segala lubang yang memungkinkan sinar matahari masuk.
Bupati Sukoharjo membolehkan seluruh pegawai pemerintah daerah pulang ke rumah dua jam sebelum gerhana. Dia menganjurkan orang tua lebih mementingkan mendekap anak-anaknya di rumah. "Katakan kepada seluruh masyarakat lainnya, mendekap anak di saat gerhana adalah perintah Bupati. Biarlah matahari saja yang buta, jangan kita," ucap Bupati Gatot Amrih.
Baca juga : Gerhana Matahari Total, Jembatan Ampera Jadi Arena Festival
Kejadian lucu terjadi di Madura dan Surabaya. Pemerintah di sana menyita ajimat yang dijual belikan seharga Rp 1.000. Para pedagang sengaja menjual ajimat itu yang konon bisa melihat GMT dengan mata telanjang, dan dijamin tidak buta.
Pendapat ilmuwan. Prof. Dr. Bambang Hidayat, yang waktu itu menjabat Direktur Peneropong Bintang Bosscha justru mengecam kampanye pemerintah. Ia melarang pemerintah seolah menganggap gerhana matahari total sebagai sebuah bencana. Dia menganggap gerhana matahari total justru aman melihat matahari, asal tidak terus-menerus sampai selesai gerhana.
EVAN | PDAT | BERBAGAI SUMBER