TEMPO.CO, Jakarta - Selama 17 tahun, sekelompok peneliti mempelajari kebiasaan simpanse di Republik Guinea, Afrika, menggunakan daun untuk minum getah pohon palem yang telah terfermentasi. Hasil analisis yang dipublikasikan dalam jurnal Royal Society Open Science itu mengungkapkan bahwa simpanse gemar minum anggur palem atau biasa disebut tuak nira di Tanah Air.
Temuan ini dapat mengungkap akar evolusi yang sama antara manusia dan kera bahwa ada satu kesamaan lagi di antara keduanya, yaitu mampu mencerna minuman beralkohol. Manusia telah mengkonsumsi etanol sejak 10 juta tahun lalu, sehingga temuan ini memperkuat tautan antara manusia dan kera.
Baca Juga:
Namun, ada pula perbedaan besar antara manusia dan kera, misalnya dagu di wajah kita. Manusia adalah satu-satunya primata yang memiliki dagu. Bahkan simpanse, yang memiliki kemiripan DNA dengan manusia hingga 98 persen, juga tak punya dagu.
Menurut studi dari tim peneliti University of Iowa, Amerika Serikat, dagu adalah hasil evolusi selama jutaan tahun. "Efek dari semakin mengecilnya wajah manusia," tulis Nathan Holton, seorang paleontolog, dalam studinya yang dipublikasikan di Journal of Anatomy.
Simpanse dan gorila memiliki kekerabatan yang lebih dekat dengan manusia ketimbang monyet. Kedua primata itu digolongkan sebagai kera karena tidak memiliki ekor dan biasanya, menurut para peneliti di Smithsonian National Zoological Park, berukuran lebih besar daripada keluarga monyet.
Kera juga memiliki otak lebih besar daripada monyet. Mereka pun mampu menggunakan banyak benda untuk memahami bahasa. Keluarga mereka terbagi atas dua grup: berbadan besar, seperti gorila, simpanse, bonobo, dan orang utan; serta berbadan kecil, seperti gibbon dan siamang.
Dari pengelompokan tersebut, keluarga ini memiliki ukuran tubuh beragam. Tinggi tubuh gorila, misalnya, bisa mencapai 1,67 meter dengan berat badan dapat di atas 200 kilogram. "Mereka biasa hidup dalam satu daerah teritori di alam liar," tulis situs Live Science. Bahkan tinggi badan gorila gunung dapat mencapai 2 meter dengan berat 220 kilogram.
Adapun orang utan menjadi hewan pohon yang dapat tumbuh mencapai 1,37 meter dengan berat 150 kilogram. Meski sama-sama hidup di pohon, gibbon dan siamang berukuran jauh lebih kecil dengan tinggi badan hanya sekitar 90 sentimeter dan berat 13 kilogram.
Habitat kera besar adalah Afrika dan Asia. Mereka cenderung hidup di hutan daerah pegunungan dan padang rumput.
Alih-alih tinggal di habitat yang sama dengan kera besar, kera berukuran kecil lebih suka hidup di hutan hujan tropis. Mereka hidup dalam kelompok kecil yang disebut suku atau komunitas. Gibbon, misalnya, hidup dalam kelompok beranggotakan 2-6 spesies. Dalam kelompok kecil ini, para kera tinggal dengan tingkat sosial yang tinggi. Bahkan kelompok siamang hanya akan berjarak 10 meter dari kelompoknya.
Berbeda dengan kera kecil yang membentuk kelompok dengan anggota tak lebih dari 10 individu, kelompok kera besar malah membentuk gerombolan yang besar.
Jumlah anggota satu kelompok gorila saja dapat mencapai 30 ekor. Lebih banyak dari itu, satu komunitas simpanse bisa berjumlah 120 ekor. "Dalam kelompok, mereka saling melindungi," tulis Thomas Geissmann, peneliti di Anthropological Institute of University Zürich-Irchel Winterthurerstrasse.
Dia melakukan studi tentang antropologi gibbon berjudul The Gibbons Networks, yang kemudian dimuat dalam laman situs lembaganya. Dia menjelaskan, baik gibbon maupun kera kecil lainnya akan tidur di sarang yang terbuat dari cabang dan dedaunan. "Bisa di pohon atau di tanah."
Dalam studinya tersebut, Geismann menyebutkan bahwa gibbon merupakan hewan yang sangat unik. "Dia setia kepada pasangannya. Ini langka dalam kerajaan binatang," demikian dia menulis. Menurut Geismann, hanya ada 3 persen hewan yang melakukan monogami, termasuk buaya. Sebaliknya, kelompok kera besar kawin dengan beberapa pasangan.
Seperti manusia, kera akan melahirkan bayi setelah mengandung selama sembilan bulan. Hanya, dalam satu proses kelahiran, kera biasanya akan melahirkan satu sampai dua bayi sekaligus. Mereka pun akan menyusui anak-anak mereka dalam beberapa waktu. Tak seperti binatang lainnya, keluarga kera akan merawat anak-anak mereka hingga 12 tahun.
Namun keberadaan kera kini semakin terancam. Semakin gencarnya perburuan terhadap kera membuat mereka di ambang kerentanan. Bahkan, menurut International Union for Conservation of Nature's (IUCN) Red List of Threatened Species, ada beberapa jenis kera yang terancam punah. Gorila barat, misalnya, keberadaannya semakin terancam karena dianggap sebagai penyebar ebola.
"Meski umur sebagian besar kera dapat mencapai 50 tahun, tapi kalau diburu, ya sudah pasti akan punah," tulis Geismann.
Sejak ebola mulai mewabah kembali di negara-negara Afrika Timur, kera kerap dikambinghitamkan sebagai salah satu reservoir selain kelelawar. Geismann berpendapat bahwa kemiripan genetika yang mungkin menjadi faktor cepatnya penularan virus ebola.
JOURNAL OF ANATOMY | LIVE SCIENCE | ROYAL SOCIETY OPEN SCIENCE | AMRI MAHBUB