TEMPO.CO, Amerika - Ledakan akibat benturan meteor di selatan Samudera Atlantik ini luput dari perhatian orang banyak. Padahal, frekuensi ledakannya merupakan yang terbesar kedua setelah meteor Chelyabinsk yang jatuh di Rusia 3 tahun silam.
"Lembaga antariksa gagal memperingatkan dunia tentang ledakan besar ini," kata peneliti NASA Ron Baalke seperti dilansir dari Live Science, Senin, 29 Februari 2016. Benturan sendiri sudah terjadi pada 6 Februari lalu.
Batu luar angkasa yang membentur bumi ini berdiameter 5 hingga 7 meter, setelah sebagian massa-nya terbakar saat melewati atmosfer. Beruntung meteor ini tak membentur daratan, melainkan langsung tenggelam di laut. Baalke memperkirakan, energi ledakan ini setara 13 kiloton, atau sekuat ledakan 13 ribu ton TNT.
Tak ada satupun saksi mata yang melihat peristiwa ini, baik pelaut maupun pilot yang saat itu ada di area. Dampak terhadap makhluk hidup seperti ikan-ikan juga kecil.
Hal yang menarik adalah karena NASA tak mengatakan apapun terkait benturan meteor ini. Padahal, radar Fireball and Bolide Reports di laman NASA's Near Earth Object Program mencatat keberadaannya, juga peristiwa jatuhnya meteor yang berdampak ledakan besar ini.
Meteor jatuh memang bukanlah kisah baru di Planet Bumi. Salah satu yang terbesar terjadi di Rusia, ketika batu antariksa berdiameter hingga 20 meter jatuh di kota Chelyabinsk yang berpenduduk 1 juta jiwa. Akibatnya kota mengalami kerusakan berat, dan banyak korban luka. Tercatat, energi benturan ini sekuat 440 kiloton.
LIVE SCIENCE | DISCOVERY | URSULA FLORENE