TEMPO.CO, Surabaya - Peneliti kimia di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Dr Fredy Kurniawan, mencipta detektor kandungan gelatin babi dalam makanan, obat, dan kosmetik. Dengan begitu, alat ini dianggap bisa memastikan halal atau haramnya makanan, obat, atau kosmetik tersebut.
Doktor lulusan Regensburg University, Jerman, ini membuat detektor dengan bujet hanya Rp 100 juta. Padahal, alat deteksi gelatin berbasis serupa yang lebih rumit bisa menghabiskan dana Rp 1 miliar.
“Kalau rekan-rekan dari teknik elektro bisa membuat model yang lebih kecil dengan alat baca yang sederhana seperti pengecek gula darah, bisa tinggal Rp 1 juta saja,” katanya ketika ditemui seusai peluncuran Pusat Kajian Halal ITS, Kamis, 24 Maret 2016.
Dosen jurusan kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ini menjelaskan, alat deteksi yang dibuatnya bekerja dengan cara sederhana dan langsung bisa diketahui hasilnya, berbasis sensor Quartz Crystal Microbalance. Masyarakat yang ingin mengetahui kandungan gelatin cukup memasukkan bahan yang diuji selama lima menit.
Sinyal bahan tersebut bisa ditangkap oleh sensor. Jika sinyal turun, bahan yang terkandung berasal dari sapi. “Kalau sinyalnya naik, berarti dari babi,” kata dia. “Nanti kelihatan naik terus secara konstan.”
Meski cara kerjanya sederhana, Fredy mengklaim alat tersebut bisa mendeteksi kandungan zat gelatin babi sekecil atau serendah mungkin. Ia menyebut sensitivitasnya sampai 100 ppm alias sangat rendah sekali. “Ketika kandungannya kecil pun, masih bisa mendeteksi.”
Pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, itu berharap alat tadi bisa dipakai dan bisa mempercepat proses sertifikasi halal pada suatu produk. Sebab, kata dia, sertifikat halal selama ini membutuhkan waktu yang lama.
Tak hanya menyangkut ada tidaknya unsur babi, kata dia, tapi menyangkut tata cara proses pembuatan dan pengangkutannya. “Maka untuk memperoleh sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, butuh waktu lama dan proses panjang,” katanya.
Pusat Kajian Halal ITS yang baru-baru ini diluncurkan, melibatkan beberapa dosen dan peneliti lintas disiplin ilmu. Ini termasuk bidang transportasi pengangkutan barang atau supply chain management, dalam proses penentuan halal atau tidaknya suatu produk.
“Tentu ITS tidak berhak mengeluarkan sertifikat halal, ITS hanya sebagai lembaga pemeriksa halal sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014, Pasal 12 tentang Jaminan Produk Halal,” kata Fredy.
ARTIKA RACHMI FARMITA