TEMPO.CO, Jakarta - Konservasi ikan Manta ternyata memiliki nilai ekonomi yang tinggi saat dimanfaatkan dalam pariwisata Indonesia. Nilainya bahkan jauh lebih besar ketimbang penjualan ingsangnya. "Bisa mencapai Rp 1,7 triliun sepanjang ikan itu masih hidup," kata Direktur Program Kelautan Conservastion International Indonesia, Victor Nikijuluw, di restoran di bilangan Jakarta Pusat, Rabu, 20 April 2016.
Saat ini, Victor mengatakan, Indonesia memiliki industri pariwisata manta terbesar kedua di dunia setelah Jepang. Lokasi yang paling terkenal berada di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Nilainya perekonomiannya cukup fantastis. "Rp 180 miliar per tahun," tutur dia. Indonesia setidaknya memiliki 130 spesies keluarga elasmobranch (ikan manta dan pari), termasuk Manta alfredi (manta karang) dan Manta birostris (manta samudera).
Manta adalah hewan kharismatik yang memiliki potensi besar untuk menyumbangkan pemasukan melalui industri pariwisata. Sebuah studi dari lembaga O'Malley pada tahun 2013 menyatakan, bahwa ikan yang bisa mencapai ukuran lebih dari enam meter ini dapat menyumbang pemasukan mencapai US$ 1 juta. Sedangkan, jika dibunuh dan diperdagangkan seluruh bagian tubuhnya hanya akan bernilai kurang dari US$ 460.
Di Indonesia, Raja Ampat menjadi satu-satunya tempat di dunia yang dapat menemukan M. alfredi dan M. birostris sekaligus. "Ini karena Raja Ampat memiliki habitat yang beragam, jadi manta senang di situ," kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat, Yusdi Lamatenggo, di tempat yang sama.
Yusdi bercerita, di Raja Ampat juga ada kawasan perkembangbiakan manta di Laguna Wayag. Manta betina yang hamil, ujar dia, kerap melahirkan di tempat ini. Faktor tersebut juga membuat nilai pariwisata manta menjadi lebih tinggi.
Baca Juga:
Dia memprediksi potensi wisata manta di Raja Ampat akan terus naik. "Tahun lalu saja wisatawan ada 17 ribu," tuturnya.
Untuk melindungi manta, pemerintah Raja Ampat mewajibkan setiap wisatawan yang memasuki kawasan konservasi perairan untuk membeli kartu jasa lingkungan. Wisatawan lokal dikenai Rp 500 ribu dan mancanegara dikenai US$ 100. Hasil penjualan kartu, kata Yusdi, kemudian digunakan untuk pemasukan asli daerah, pengelolaan kawasan konservasi, serta kegiatan patroli dan pengawasan oleh masyarakat setempat.
"Dana tersebut juga kami gunakan untuk melakukan penyuluhan dari kampung ke kampung tentang pentingnya konservasi," ujar Yusdi.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan kedua spesies tersebut ke dalam Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Artinya, manta akan punah jika terjadi eksploitasi secara berlebihan. "Menjaga manta dari kepunahan merupakan tantangan tersendiri bagi Indonesia," kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Hari Eko Irianto.
Selain hanya melahirnya satu anak dalam dua sampai lima tahun, populasi manta di Indonesia semakin menurun. Menurut Hari, populasi manta menurun 70-95 persen dalam 10 tahun terakhir.
AMRI MAHBUB