TEMPO.CO, Jakarta - Badan Restorasi Gambut tengah menyusun kerangka pengaman sosial untuk merestorasi lahan gambut yang rusak akibat kebakaran. Badan itu ditugasi untuk merestorasi 2 juta hektare lahan gambut dalam lima tahun. BRG memastikan restorasi bakal dikerjakan dengan memperhatikan dan melindungi hak masyarakat.
Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Fuad menyatakan restorasi tidak akan dijalankan dengan mengorbankan masyarakat. “Meski restorasi harus berjalan cepat, hak masyarakat harus dihormati dan diperhatikan,” kata Nazir dalam konsultasi publik terkait dengan rancangan pedoman kerangka pengaman sosial restorasi gambut, Selasa, 7 Juni 2016.
Menurut Myrna A. Safitri, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG, kerangka pengaman sosial dibuat untuk menjamin agar restorasi tak merugikan masyarakat. Dia mengatakan produk pengaman sosial dalam restorasi gambut bukanlah uang tunai atau program padat karya.
“Kami butuh tanggapan masyarakat terkait dengan restorasi itu. Tanggapan ini mirip konsultasi ke dokter sebelum operasi,” katanya. Kerangka pengaman sosial diperlukan untuk meminimalkan potensi konflik di tengah masyarakat. Seluruh tanggapan dan komplain masyarakat akan difasilitasi oleh BRG. “Lebih baik repot di awal proyek ketimbang sudah berjalan baru muncul konflik karena warga tak setuju,” katanya.
Emil Ola Kleden, pakar kerangka pengaman sosial, menyatakan restorasi penting dilakukan untuk mengembalikan fungsi hidrologis lahan gambut yang rusak. Menurut dia, restorasi akan berhasil jika melibatkan masyarakat di sekitar lokasi lahan gambut yang diperbaiki. Hak masyarakat, termasuk komunitas hukum adat, juga harus diakui.
“Restorasi lahan gambut ini urusannya dengan komunitas masyarakat, bukan orang per orang,” kata Emil. “Kalau dampaknya buruk, semua kena. Kalau dampaknya baik, semua harus dapat.”
GABRIEL WAHYU TITIYOGA