TEMPO.CO, Jakarta - Bacharuddin Jusuf Habibie Technology Award ke-9 tahun 2016 jatuh ke tangan tim peneliti garam farmasi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Tim beranggotakan tujuh orang ini berhasil menciptakan inovasi berupa garam farmasi yang selama ini sangat sulit dibuat di dalam negeri karena belum ada teknologinya. Imbasnya, bahan baku utama obat tersebut harus diimpor dari luar dan harganya cukup mahal.
"Teknologi yang mereka rancang tidak sebatas jurnal, tapi sangat bermanfaat bagi masyarakat," kata Kepala BPPT Unggul Priyanto, dalam serah terima penghargaan yang digelar di kediaman Presiden Indonesia k-3 B.J. Habibie, Jakarta Selatan, Kamis, 18 Agustus 2016.
Penghargaan ini digelar BPPT dengan maksud memberikan penghargaan tertinggi secara berkelanjutan kepada seluruh pelaku teknologi yang berprestasi dalam inovasi teknologi. Nama penghargaan ini diambil dari pimpinan pertama sekaligus pendiri BPPT, yakni B.J. Habibie. Tahun 2015, penghargaan ini jatuh kepada Warsito Purwo Taruno, inovator teknologi electrical capacitance volume tomogragraphy (ECVT) atau sistem pemindai berbasis medan listrik statis yang diaplikasikan di dunia medis internasional.
Tahun ini, penghargaan tersebut jatuh kepada tim beranggotakan Imam Paryanto, Bambang Srijanto, Eriawan Rismana, Tarwadi, Purwa Tri Cahyana, Arie Fachruddin, dan Wahono Sumaryono. Unggul menjelaskan, nantinya garam farmasi tersebut sangat berguna untuk bahan baku dasar obat-obatan, seperti cairan infus, tablet, pelarut vaksin, dan cairan pencuci darah.
Garam farmasi atau juga disebut garam proanalisis ini memiliki kandungan natrium klorida (NaCl) yang cukup tinggi, sekitar 99,5 persen. Yang sulit, kata Tarwadi, anggota tim, ialah mengekstraksi garam biasa menjadi garam farmasi. "Di Indonesia selama ini belum ada teknologi yang bisa melakukannya," kata dia. Dalam hal ini dia dan tim berhasil menciptakan teknologi sekaligus patennya. "Inovasi ini diharapkan dapat menciptakan kemandirian industri farmasi nasional agar tidak terus bergantung produk impor."
Harga garam farmasi impor, kata Unggul, bisa mencapai Rp 50 ribu per kilogramnya. Kebutuhan nasional atas bahan baku ini mencapai 100 persen atau sekitar 6.000 ton. DI tempat yang sama, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan, Mohamad Nasir, mengatakan dengan adanya inovasi garam yang juga disebut garam farmasetis ini dapat mengurangi ketergantungan impor sekitar 30 persen.
"PT. Kimia Farma (Persero) Tbk sebagai salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia sudah mendirikan pabrik garam farmasi sejak 2014 yang teknologinya berdasarkan paten yang dikembangkan tim BPPT ini," kata Nasir di tempat yang sama. Kapasitas pabrik garam farmasi yang dibangun di Watudakon, Jombang, Jawa Timur, ini mampu menghasilkan 2.000-3.000 ton dari kebutuhan nasional. Artinya, Nasir mengatakan, otomatis harga garam farmasi bisa ditekan jauh lebih rendah ketimbang harga impor.
Selain mengurangi ketergantungan impor, menurut Nasir, keberadaan garam farmasi juga mendorong upaya kemandirian bahan baku nasional. "Memberdayakan teknologi dan peralatan dalam negeri," tuturnya.
AMRI MAHBUB