TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi lingkungan Greepeace meluncurkan aplikasi UdaraKita yang berisi informasi tentang kualitas udara. Pemantauan kualitas udara dalam aplikasi ini menggunakan perhitungan jumlah konsentrasi PM 2,5, salah satu polutan udara paling berbahaya.
Menurut Bondan Andriyanu, juru kampanye Iklim dan Energi dari Greenpeace Indonesia, data kualitas udara di aplikasi UdaraKita diambil dari rerata hasil yang diambil alat pemantau. "Alat pemantau kami pasang di 50 titik di sekitar Jakarta," kata Bondan dalam acara peluncuran aplikasi dan diskusi di Jakarta, Selasa (14/2).
Bondan mengatakan polutan PM 2,5 banyak dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Polutan dengan ukuran 30 kali lebih kecil dari diameter rambut manusia ini bisa masuk ke dalam aliran darah dan memicu sejumlah penyakit pernapasan serius hingga kanker paru.
Aplikasi ini juga memuat data kualitas udara di beberapa kota seperti Bandung dan Pekanbaru. Kualitas udara dalam aplikasi ini ditampilkan dengan warna. Warna hijau menunjukkan kualitas udara aman untuk kesehatan. "Merah itu sudah konsentrasi PM 2,5 tinggi dan kualitas udara tidak sehat," kata Bondan.
Pengguna smartphone bisa mengunduh aplikasi secara gratis di Google Play Store dan AppStore. "Adapun alat pemantau kualitas udara sudah beragam dan bisa dibeli online," kata Bondan. "Penggunanya bisa berbagi data mereka di UdaraKita."
Dengan UdaraKita, Greepeace mengajak masyarakat untuk peduli dengan kondisi dan efek pencemaran udara. Greenpeace juga mendesak pemerintah Indonesia untuk menangani masalah polusi udara dengan serius. "Sumber polusi udara di kota-kota besar di Indonesia kebanyakan berasal dari kendaraan bermotor dan pembangkit listrik yang mengandalkan bahan bakar fosil," kata Bondan.
Budi Haryanto, Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia, mengatakan masyarakat perlu mengetahui informasi kualitas udara seperti yang ditampilkan UdaraKita sebagai peringatan dini pencemaran udara. "Jangan sampai nanti sudah lihat banyak orang sakit baru sadar ada pencemaran udara, itu artinya kita sudah sangat terlambat," katanya.
Menurut Budi, sejumlah kota besar di dunia memiliki sistem pemantau udara yang kompleks. Kota Tokyo di Jepang, menurut Budi, punya ratusan pemantau udara sebagai alat peringatan dini. "Di Jakarta, alat pemantau udara jumlahnya sangat sedikit dan sebagian besar malah tak bisa mengukur konsentrasi PM 2,5," katanya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA