TEMPO.CO, Jakarta - Mitos menyebutkan darah naga merupakan zat yang sangat beracun. Mitos lain mengatakan sebaliknya, darah hewan bersisik itu bisa menyembuhkan penyakit dan membuat manusia tak terkalahkan. Namun kita tahu bahwa naga adalah hewan mitologi yang masih diperdebatkan keberadaannya.
Terlepas dari mitos tersebut, ilmuwan Amerika Serikat baru saja mengungkap fungsi darah “naga”. Tentunya bukan naga mitos, melainkan komodo dragon (Varanus komodoensis), binatang purba yang masih hidup di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Barat. Studi tersebut terbit dalam jurnal Biofilms and Microbiomes edisi 11 April 2017 dengan judul “Komodo dragon-inspired synthetic peptide DRGN-1 promotes wound-healing of a mixed-biofilm infected wound”.
“Darah komodo dragon memiliki peptida yang bisa membunuh bakteri dan membantu menyembuhkan luka lebih cepat,” demikian tulisan Monique van Hoek dan Barney Bishop, peneliti biologi dan biomolekuler dari George Mason University, Amerika Serikat, yang juga pemimpin studi ini, dalam jurnal.
Baca: Komodo Tertua di Dunia Mati, Usianya 30 Tahun
Peptida adalah molekul yang terbentuk dari 1-50 asam amino. Jika lebih dari itu, molekul tersebut menjadi protein. Dalam tubuh manusia, peptida bertanggung jawab atas banyak hal, salah satunya antibiotik.
Van Hoek, Bishop, dan tim menguji senyawa peptida dari darah komodo pada tikus yang kulitnya terluka. Mereka menemukan luka pada tikus tersebut sembuh total tanpa menyisakan satu bakteri pun.
Sejak 2009, Van Hook dan Bishop bertualang mencari agen antimikroba baru. Fokus mereka adalah darah buaya dan organisme kuno lainnya. Penelitian terhadap komodo dimulai sejak mereka mendapatkan satu sendok makan sampel darah komodo yang ditangkarkan di St Augustine Alligator Farm and Zoological Park di Florida pada awal 2010.
“Seorang pawang komodo yang sangat berani mengambil darah dari ekornya. Meski tidak ada perlawanan, bisa saja reptil raksasa itu berputar dan menyerangnya dengan gigitan beracun,” kata Bishop, seperti dikutip dari laman situs Popular Science. Saat mengambil darah, Bishop menjelaskan, sang pawang menggunakan metode yang tidak mengancam nyawa komodo.
Baca: Media Sosial Heboh Video Komodo di Gorong-gorong Kota Bangkok
Hingga saat ini, para ilmuwan percaya bahwa komodo membunuh mangsa dengan racun di mulut mereka. Namun, pada studi 2013, Bishop dan Monique van Hoek tidak menemukan bakteri mematikan apa pun dari mulut “sang naga” di kebun binatang.
Keduanya memutar otak hingga akhirnya sampai pada hipotesis bahwa komodo liar atau dalam penangkaran semihabitatlah yang mungkin memiliki potensi mikroba yang mematikan. Mereka pun mengambil langkah untuk memulai studi baru.
Kenapa komodo? Van Hoek dan Bishop percaya, jika bisa membunuh dengan air liurnya, komodo pasti memiliki kekebalan ekstra dalam tubuh untuk menghindari infeksi pada diri sendiri.
Keduanya mulai memindai sampel darah dari penghuni St Augustine Alligator Farm—penangkaran semihabitat reptil besar, seperti buaya—yang dibangun pada 1893. Tempat ini dibangun di lokasi yang mulanya merupakan sarang buaya. Baru belakangan komodo menjadi koleksi tempat ini.
Dalam analisis laboratorium, mereka menemukan ratusan senyawa dengan potensi antimikroba. “Sebuah peptida yang diberi label VK25 menjadi unggulan,” ujar Van Hoek. Menurut hasil tes awal, dia menjelaskan, senyawa ini mampu membunuh bakteri dan kumpulan biofilm serta mempercepat penyembuhan.
Setelah itu, mereka memproduksi peptida sintetis dengan sedikit modifikasi yang diberi kode Drgn-1. Pengujian dilakukan untuk melawan dua spesies bakteri yang biasa menginfeksi luka kulit: Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus.
Tim juga membandingkan kinerjanya dengan peptida antimikroba yang ditemukan pada manusia berkode LL-37. Hasilnya, senyawa Drgn-1 paling unggul. “Hari ke-11, bakteri benar-benar hilang dan luka sembuh total,” begitu tim peneliti menulis dalam jurnal. Selain uji efektivitas, tim menggelar uji tingkat toksisitas senyawa.
Studi menunjukkan hasil yang positif. Kini, menurut tim, tinggal mencari dana untuk melakukan uji klinis.
BIOFILM AND MICROBIOMES | POPULAR SCIENCE | AMRI MAHBUB