TEMPO.CO, Jakarta - Serangan-serangan siber oleh hacker, seperti peretasan, spear-phishing, dan penyebaran malware mencurigakan mulai menarget negara-negara berkembang, menurut laporan dari The New York Times. Serangan-serangan siber tersebut mengambil wujud dalam perangkat lunak mencurigakan yang diprogram dengan menggunakan teknologi artificial intelligence atau kecerdasan buatan (AI).
Setelah serangan malware ditemukan di India peneliti keamanan mulai melihat negara-negara di luar negara barat sebagai tempat terjadinya kemungkinan serangan-serangan siber yang terbaru, yang sangat kreatif dan berbahaya.
Serangan ini merupakan konsekuensi dari negara-negara berkembang yang mulai memfokuskan ekonominya dengan pola berpikir digital. Dan mereka, menurut peneliti, adalah lapangan bagi para peretas untuk menguji kemampuan mereka. Karakteristik lain dari negara-negara berkembang adalah kemudahan para peretas untuk bekerja tanpa kekhawatiran akan dideteksi.
“India adalah tempat di mana serangan-serangan AI terlihat pertama kali, dan alasannya sesimpel itu adalah tempat yang ideal untuk diretas,” kata Nicole Eagan, eksekutif utama dari perusahaan yang berkutat di keamanan siber Darktrace.
Baca: Tips Teknologi: Back Up Data untuk Hindari Serangan Hacker
Dan bukan hanya India. Pada Februari 2016, dalam kasus yang dinilai sebagai pemanasan serangan-serangan serupa, bank sentral negara Bangladesh diretas oleh hacker yang dinilai memiliki hubungan dengan Korea Utara—mendapatkan $81 juta (sekitar Rp 1,08 triliun). Kompromi terhadap akun-akun Swift — digunakan untuk memindahkan uang antarnegara — adalah alasan utama mengapa komputer-komputer dalam bank sentral Bangladesh bisa diretas.
“Kita bisa lihat pola dari penyerang-penyerang. Mereka menguji sesuatu, membuat peningkatan, dan enam minggu kemudian mencoba lagi sebelum meluncurkannya ke target utama mereka,” kata Allan Liska, analis dari Recorded Future, firma sekuritas siber dari Amerika Serikat.
Liska juga menyebutkan bahwa Taiwan dan Korea Selatan adalah lapangan uji bagi grup peretas di Cina. Begitupun benua Afrika dan negara-negara di Asia Tenggara.
Baik Liska maupun Chris Rock, peneliti sekuritas dan eksekutif utama dari firma sekuritas siber Kustodian, merasa bahwa masuknya perusahaan siber sekuritas akan meningkatkan risiko bagi para hacker. Rock menambahkan bahwa di satu sisi, peretas bisa mengasah kemampuan mereka.
Di sisi lain, mereka berisiko untuk ditangkap. Begitu firma sekuritas siber bisa mendeteksi kekhasan dari suatu serangan, mereka bisa membangun pertahanannya, dan menyebar pertahanan tersebut ke klien mereka masing masing.
THE NEW YORK TIMES | STANLEY WIDIANTO | NS