Umumnya kemunculan anggrek holomikotropik berumur pendek dalam satu tahun, antara dua sampai empat minggu. Perbungaannya secara tiba-tiba akan muncul dari permukaan tanah atau serasah. Perbungaan akan layu membusuk dan lenyap setelah 1-2 minggu kemudian.
Kombinasi warna bunga genus Gastrodia pun tidak pernah mencolok. Umumnya Gastrodia bambu berwarna putih, kekuningan, hingga kecokelatan. Spesies baru ini terkesan angker terlebih karena menyukai habitat yang gelap, lembap, dan selalu berdekatan dengan rumpun bambu lebat yang sudah uzur.
G. bambu diduga memerlukan kondisi ekologi yang sangat spesifik, bunga ini juga sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Anggrek ini sangat peka terhadap kekeringan, intensitas cahaya berlebih, dan juga perubahan pada media tumbuhnya. Gangguan pada habitatnya, seperti pembukaan rumpun bambu, diduga akan berdampak terhadap perubahan kelembapan, intensitas cahaya, dan juga sifat biologi pada media tumbuhnya, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan.
Baca: Dua Abad Kebun Raya Bogor LIPI, Benteng Terakhir Flora Indonesia
"Karena sifat sensitifitasnya yang tinggi, maka kelompok anggrek holomikotropik merupakan objek yang menarik untuk diobservasi kerentanannya sebagai bagian dari komunitas anggrek tropis terhadap dampak perubahan iklim," kata Destario.
Anggrek hantu ini memiliki bunga berbentuk lonceng yang berukuran panjang antara 1,7 sampai 2 sentimeter dan lebar antara 1,4 sampai 1,6 sentimeter. Bunga didominasi warna cokelat gelap dengan bagian bibir bunga berbentuk mata tombak memanjang bercorak jingga. Pada satu perbungaan dapat menghasilkan hingga 8 kuntum bunga yang mekarnya bergantian.
G. bambu mengeluarkan aroma busuk untuk menarik serangga polinator alias serangga penyerbuk. Perbungaan muncul dari tanah berserasah di bawah rumpun-rumpun bambu tua pada ketinggian 800-900 meter di atas permukaan laut. Lantaran berhabitat spesifik dekat rumpun-rumpun bambu itulah maka spesies anggrek itu diberi nama belakang "bambu".
Selanjutnya: Populasi G. bambu sangat terbatas