Populasi Gastrodia bambu di alam sangat terbatas. Malah, sedang menghadapi tekanan degradasi habitat yang tinggi. Degradasi habitat terjadi seturut pengambilan rumpun-rumpun bambu oleh masyarakat untuk dijadikan sebagai bahan bangunan.
Habitatnya di kawasan Gunung Merapi sejauh ini baru diketahui pada rumpun-rumpun bambu di tegalan milik masyarakat yang berdekatan dengan batas terluar Taman Nasional Gunung Merapi. Berbeda dengan tumbuhan anggrek umumnya, hingga sekarang spesies G. bambu dan kebanyakan anggrek holomikotropik lainnya belum dapat dibudidayakan maupun ditumbuhkan di luar habitas aslinya.
"Hal itu menjadi misteri sekaligus tantangan utama dalam upaya konservasinya," ujar Destrio, alumni Jurusan Agronomi Universitas Pembangunan Veteran Yogyakarta. "Penelitian terkait dengan kemampuan adaptasi spesies ini dalam menghadapi perubahan iklim global masih terus kami lakukan melalui analisis anatomi dan fisiologi."
Baca: Siti Zuhro LIPI: Butuh 5 Tahun Lebih Pemindahan Ibu Kota Negara
Menurut Rio, panggilan karib Destario Metusala, penelitian Gastrodia bambu sejalan dengan prioritas riset LIPI maupun Universitas Indonesia untuk mendukung penelitian dan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversitas), khususnya spesies endemik di Tanah Air. Karena itu, diperlukan peningkatkan kerja sama antara LIPI dan Universitas Indonesia dalam bidang konservasi biodiversitas.
Publikasi spesies baru itu juga tidak lepas dari kontribusi organisasi kemahasiswaan Canopy, Departemen Biologi Universitas Indonesia, dan BiOSC, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Canopy dan BiOSC berperan besar membantu proses pengamatan habitat dan pencatatan record populasi.
Baca: Tim LIPI Temukan Jejak Tsunami Purba di Aceh Selatan
Simak artikel menarik lainnya dari ilmuwan LIPI hanya di kanal Tekno Tempo.co.
ABDI PURMONO