Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Zona Mati di Samudra

image-gnews
Iklan
TEMPO Interaktif, Paris:Bayangkan apa jadinya bila laut tak berpenghuni. Tak ada ikan, tak ada paus, cumi, gurita, ataupun kerang. Sebuah zona mati tanpa kehidupan di dalamnya. "Itulah yang bakal terjadi beberapa generasi mendatang bila pemanasan global tak segera ditangani," isi sebuah studi yang dipublikasikan pada Minggu kemarin.
Studi itu juga memprediksi bahwa kondisi laut bebas dari ikan dan organisme hidup lainnya itu dapat berlangsung hingga 2.000 tahun. Peneliti studi tersebut mengatakan bahwa pemangkasan besar-besaran terhadap emisi karbon dunia harus dilakukan untuk mengerem kecenderungan yang dapat menghancurkan ekosistem laut dan merampas hak generasi mendatang untuk bisa menikmati hasil laut.
Dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Geoscience, sejumlah ilmuwan Denmark membangun sebuah pemodelan komputer untuk mensimulasikan perubahan iklim pada 100 ribu tahun yang akan datang. Inti model komputer mereka adalah dua skenario yang banyak digunakan, yaitu memakai kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer sebagai indikator kenaikan temperatur. Gas CO2 adalah gas rumah kaca nomor satu. Menurut skenario terburuk, konsentrasi CO2 akan meningkat menjadi 1,168 ppm pada tahun 2100, atau tiga kali lipat kadar saat ini.
Dalam model yang jauh lebih optimistis, CO2 dapat menjangkau 549 ppm pada tahun 2100, atau naik hampir 50 persen dibanding sekarang. Kenaikan temperatur itu tergantung pada beberapa faktor, yaitu kapan puncak emisi karbon itu terjadi dan seberapa cepat angka itu merosot, serta apakah pemanasan itu melepas sejumlah pemicu alami atau titik balik yang akan memperkuat atau memperpanjang pemanasan.
Setelah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, para ilmuwan memprediksi kemungkinan kenaikan sekitar lima sampai tujuh derajat Celsius di atas temperatur masa pra-industri berdasarkan skenario terburuk. Dalam skenario lain, pemanasan yang terjadi memang jauh lebih rendah: dua sampai empat derajat Celsius.
"Tapi, itu semua adalah kabar buruk bagi laut," kata Jens Olaf Pepke Pedersen, seorang fisikawan di Technical University of Denmark. Menurut skenario terburuk, menghangatnya laut dan melambatnya sirkulasi samudra akan menurunkan kadar oksigen laut dan menciptakan "zona mati" yang tidak dapat mendukung kehidupan ikan, kerang, dan bentuk kehidupan laut yang lebih tinggi lainnya.
Kondisi itu tak akan pulih kembali selama 1.500 sampai 2.000 tahun. "Kenaikan itu akan dimulai dengan perlahan-lahan pada akhir abad ini," tutur Pedersen. "Ini bukan sesuatu yang akan terjadi besok atau beberapa waktu ke depan, tapi pada beberapa generasi yang akan datang."
Pedersen mengingatkan bahwa kerusakan ekosistem ini tidak mungkin dipulihkan dengan cepat. "Karena sifat samudra yang tidak aktif, begitu proses itu dimulai, tidak mungkin kita membalikkannya kembali dengan mudah, sehingga hal itu akan berlangsung selama ratusan tahun," tuturnya. "Meski setelah seabad kemudian Anda menghentikan semua emisi karbon, samudra masih memerlukan ratusan tahun lagi untuk mendingin. Area rendah oksigen ini akan terus meluas dan mereka akan mencapai puncaknya sekitar 2.000 tahun dari sekarang. Laut akan kembali pulih ketika mulai mendingin."
Bahkan skenario yang tidak terlampau suram pun menyiratkan kondisi yang sama: akan terjadi zona kekurangan oksigen yang signifikan dan akan meluas dalam jangka panjang.
Sebenarnya, zona mati di samudra telah terjadi saat ini di perairan dangkal yang dekat dengan pantai, tempat aliran sungai yang membawa pupuk pertanian bermuara. Pupuk itu menyebabkan ledakan populasi ganggang yang menyerap oksigen secara besar-besaran dan membuat ikan mati karena kehabisan oksigen. Kejadian ini juga sering terjadi di Teluk Jakarta.
Menurunnya kadar oksigen yang kian meluas akan membawa ancaman yang jauh lebih besar dan menyentuh jantung keanekaragaman hayati. Sekitar 250 juta tahun lampau, perubahan kimia laut telah menyapu sebagian besar spesies laut.
Peneliti utama studi itu, Gary Shaffer dari Niels Bohr Institute di University of Copenhagen, Denmark, menyatakan tidak tahu apakah generasi mendatang masih bisa melihat samudra sebagai cadangan pangan utama. "Penurunan emisi bahan bakar fosil amat diperlukan selama beberapa generasi mendatang untuk membatasi penurunan oksigen samudra yang terus berlangsung, termasuk asidifikasi dan efek jangka panjangnya," ujarnya.
Sejak 1900, temperatur atmosfer global naik sekitar 0,8 derajat Celsius. Menurut prediksi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2007, temperatur rata-rata dunia akan naik antara 1,8-4,0 derajat Celsius pada tahun 2100 dibandingkan level 1980-1999.
Pada 2006 lalu, badan antariksa Amerika NASA juga telah memprediksi penurunan suplai pangan dari laut akibat pemanasan global. Dengan membandingkan data satelit samudra global hampir satu dekade dengan catatan perubahan iklim dunia, para peneliti NASA menemukan bukti bahwa kapan pun temperatur iklim menghangat, kehidupan fitoplankton akan menurun tajam. Sebaliknya, mendinginnya temperatur iklim akan membuat tumbuhan laut lebih produktif.
Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopis yang hidup di permukaan samudra. Perubahan pertumbuhan fitoplankton dan fotosintesisnya akan mempengaruhi populasi ikan dan jumlah karbon dioksida yang dapat diserap dari atmosfer.
TJANDRA DEWI | AFP | NASA
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


6 Penyebab Kekeringan, Dampaknya Bagi Manusia

29 Mei 2023

Ilustrasi kekeringan. REUTERS/Mohamed Abd El Ghany
6 Penyebab Kekeringan, Dampaknya Bagi Manusia

Banyak faktor yang membuat fenomena kekeringan terjadi. Seperti badai El Nino 2015 di Indonesia dan masih banyak lagi.


Mahasiswa UGM Manfaatkan Aspal Jalanan Untuk Kurangi Peningkatan Suhu Perkotaan

14 September 2022

Mahasiswa UGM Gagas Pemanfaatan Aspal Jalanan Untuk Kurangi Peningkatan Suhu Perkotaan. ugm.ac.id
Mahasiswa UGM Manfaatkan Aspal Jalanan Untuk Kurangi Peningkatan Suhu Perkotaan

Mahasiswa UGM menggagas inovasi pemanfaatan aspal sebagai kolektor panas Asphalt Thermal Collector untuk mengurangi peningkatan suhu.


Anies Baswedan Sebut Balap Formula E bukan Kongres atau Munas, Maksudnya Apa?

3 Juni 2022

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (tengah) menyalami pembalap tim Mercedes-EQ Formula E Nyck De Vries (kanan) saat Meet and Greet Pebalap Formula E di kawasan Monas, Jakarta, Kamis 2 Juni 2022. Ajang Jakarta E-Prix 2022 akan digelar pada Sabtu 4 Juli 2022. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Anies Baswedan Sebut Balap Formula E bukan Kongres atau Munas, Maksudnya Apa?

Anies Baswedan mengatakan balapan Formula E merupakan jawaban Jakarta untuk menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global.


Ketika Pradikta Wicaksono Kesal Disebut Dekil, Kurus, dan Gondrong

24 September 2021

Dikta Yovie n Nuno atau Pradikta Wicaksono. Foto: Instagram Dikta.
Ketika Pradikta Wicaksono Kesal Disebut Dekil, Kurus, dan Gondrong

Pradikta Wicaksono mengungkapkan kejengkelannya ketika penampilannya yang disebut dekil, kurus, dan gondrong ini dikaitkan dengan tuntutan menikah.


Perbedaan Generasi Z dan Generasi Milenial, Siapa Lebih Peduli Lingkungan?

31 Agustus 2021

Ilustrasi Generasi Milenial. all-souzoku.com
Perbedaan Generasi Z dan Generasi Milenial, Siapa Lebih Peduli Lingkungan?

Setiap generasi memiliki ciri spesifiknya, apa perbedaan Generasi Z dan pendahulkunya, Generasi Milenial?


Ciri Spesifik Generasi Z Lahir antara 1995 - 2010, Selain itu Apa Lagi?

31 Agustus 2021

Ilustrasi menggunakan ponsel sambil berjalan. bbc.com
Ciri Spesifik Generasi Z Lahir antara 1995 - 2010, Selain itu Apa Lagi?

Istilah Generasi Z berseliweran di media sosial. Apa sebenarnya yang dimaksud Gen Z ini dan bagaimana ciri-cirinya?


Faisal Basri Serukan Boikot Bank yang Membiayai Proyek Batu Bara

20 April 2021

Faisal Basri. TEMPO/Jati Mahatmaji
Faisal Basri Serukan Boikot Bank yang Membiayai Proyek Batu Bara

Ekonom senior Faisal Basri ikut mendorong perbankan untuk tidak lagi membiayai proyek-proyek batu bara.


BMKG Sebut Siklon Seroja Tak Lazim, Bisa Picu Gelombang Tinggi Mirip Tsunami

6 April 2021

Pengendara motor melintas di samping tiang listrik yang patah akibat diterjang angin kencang di Kota Kupang, NTT, Senin, 5 April 2021. Angin kencang tersebut dipengaruhi badai siklon Seroja yang tengah terbentuk di wilayah NTT. ANTARA/Kornelis Kaha
BMKG Sebut Siklon Seroja Tak Lazim, Bisa Picu Gelombang Tinggi Mirip Tsunami

BMKG mengatakan dampak siklon ke-10 ini yang paling kuat dibandingkan siklon-siklon sebelumnya, Masuk ke daratan dan menyebabkan banjir bandang.


Mensos Risma: Erupsi Gunung Semeru Mungkin Dampak Global Warming

18 Januari 2021

Menteri Sosial Tri Rismaharini membantu membungkus nasi saat mengunjungi Posko Banjir Desa Wonoasri di Tempurejo, Jember, Jawa Timur, Senin, 18 Januari 2021. Risma terlihat memegang centong nasi untuk membantu petugas yang tengah sibuk menyiapkan nasi bungkus ke korban bencana. dok.Humas Kemensos
Mensos Risma: Erupsi Gunung Semeru Mungkin Dampak Global Warming

Mensos Risma menyebut peristiwa erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur kemungkinan sebagai dampak dari pemanasan global atau global warming.


Cegah Global Warming, Pebisnis Tur Rick Steves Sumbang US$1 Juta

15 Oktober 2019

Berkurangnya krill sebagai sumber makanan bagi penguin tidak hanya akibat pemanasan global, tapi juga karena perburuan besar-besaran oleh pabrik pengolah ikan. boredpanda.com
Cegah Global Warming, Pebisnis Tur Rick Steves Sumbang US$1 Juta

Pariwisata menyumbang pembuangan karbon dalam Global warming. Itulah yenga mendorong pebisnis tur Rick Steves menyumbang US$ 1 juta.