"Orang kerap melihat rawa gambut sebagai potensi yang belum dimanfaatkan padahal perubahan lahan dan gambut akan melepas karbon," kata Emil dalam Workshop Mitigasi, Adaptasi, dan Alih Teknologi Perubahan Iklim di gedung BPPT di Jakarta kemarin. "Seharusnya luas rawa gambut diperluas karena kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon."
Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu meminta para ilmuwan mencari solusi agar hutan dan gambut tetap lestari sekaligus menguntungkan. "Di sinilah peran ilmuwan gambut sangat diperlukan," ujarnya.
Para ilmuwan juga belum mampu memanfaatkan kondisi strategis Indonesia yang kaya sumber daya hayati sekaligus berada di khatulistiwa yang selama 12 bulan terus bermandikan sinar matahari. "Kenapa energi surya tidak berkembang di Indonesia, ke mana ilmuwan di bidang energi," kata Emil. "Selama tidak ada solusi untuk menggantikan bahan bakar fosil, maka bahan bakar fosil akan tetap menjadi raja di Indonesia."
Tanpa adanya alih teknologi dalam menghadapi perubahan iklim itu, Emil mengungkapkan keprihatinannya terhadap prospek keberhasilan Conference of Parties to the Kyoto Protocol di Kopenhagen, Desember mendatang, yang bertujuan menekan emisi gas karbon. Dia mengungkapkan kecenderungan negara-negara OPEC untuk tetap menggunakan bahan bakar fosil. "Sebaliknya, negara-negara maju bersedia membatasi penggunaan bahan bakar fosil asalkan negara lain juga melakukan hal serupa."
Dengan kondisi seperti itu, ujarnya, sulit untuk menahan laju perubahan iklim yang dampaknya mulai dirasakan di Tanah Air. Sebagai negara kepulauan, Indonesia amat rapuh terhadap pemanasan global yang telah menenggelamkan 29 pulau Indonesia. "BPPT sebagai pusat sains harus bisa mencari solusi menghadapi ancaman yang akan terjadi 20 tahun lagi itu," kata Emil. "Bagaimana hidup dengan muka air laut yang terus meningkat, bagaimana hidup dengan kenaikan temperatur dan perubahan iklim serta penyebaran penyakit malaria. Ancaman harus menjadi kesempatan untuk berubah."
TJANDRA DEWI