TEMPO Interaktif, Jakarta - Perubahan iklim tak hanya berdampak besar bagi tingkat produktivitas petani dan nelayan tapi juga mengancam pendapatan mereka. Perubahan iklim memicu pergeseran musim dan cuaca, sehingga berpengaruh pada musim tanam dan panen bagi petani, serta periode menangkap ikan bagi nelayan.
Perubahan iklim juga mengancam ketahanan pangan nasional akibat kegagalan produksi pangan setelah bencana alam yang disebabkan perubahan cuaca dan iklim.
Mengantisipasi dampak buruk perubahan iklim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencetak penyuluh perubahan iklim dan modul perubahan iklim. Tujuannya, memberikan informasi kepada seluruh lapisan masyarakat tentang upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Melalui program "Public Awareness, Training and Education Program on Climate Change Issue for All level of Societies, in mitigation and adaptation", BMKG menyosialisasikan pentingnya pemahaman tentang perubahan iklim, khususnya kepada petani dan nelayan.
"Betapapun Indonesia menetapkan penurunan emisi 26 persen sejak 2010 lalu, tapi tetap akan menghadapi banyak tantangan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," kata Kepala BMKG Sri Woro Harijono dalam konferensi pers di Hotel Four Seasons, Kamis 15 Desember 2011.
Program yang menelan dana sebesar Rp 10,1 miliar dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) telah berjalan sejak bulan November 2010 dan berakhir bulan ini. Selama setahun pelaksanaannya, program ini mampu mencetak 50 penyuluh tingkat nasional, serta modul perubahan iklim berikut sistem informasinya.
Untuk menyosialisasikan modul perubahan iklim, BMKG menggandeng sejumlah instansi pemerintah hingga lembaga swadaya masyarakat. Antara lain, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, pemerintah daerah, hingga masyarakat sipil.
"Program ini menghasilkan pelatih-pelatih. Setelah ini mereka harus mengimplementasikan kemampuannya ke masyarakat, sehingga peningkatan pemahaman masyarakat itu bertambah," ujar Sri Woro menambahkan.
Ia mengatakan, sosialisasi dilakukan antara lain melalui pendidikan dan pengembangan kapasitas mulai dari tingkat nasional hingga lokal. Di sektor pendidikan, misalnya, BMKG bekerja sama dengan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud untuk menyusun kurikulum perubahan iklim bagi siswa tingkat dasar hingga menengah, guru serta pengawas.
Adapun di sektor pertanian dan kelautan, program ini menghasilkan modul penyuluhan yang mendukung ketahanan pangan dari sektor pertanian dan kelautan. Para penyuluh nantinya dapat menggunakan modul untuk membantu petani dan nelayan mencari solusi atas perubahan iklim yang menurunkan hasil panen dan ikan hasil tangkapan mereka.
Di Kementerian Pertanian, misalnya, modul akan diadaptasi oleh Badan Pengambangan Sumber Daya Manusia yang ada di setiap sektor. Melalui pendidikan dan pelatihan, modul akan digunakan untuk melatih para penyuluh di tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga desa, yang totalnya berjumlah 27 ribu dan tersebar di seluruh Tanah Air.
BMKG pun telah menjalin koordinasi dengan Dinas Kelautan dan Dinas Pertanian di lima lokasi, yaitu Kabupaten Baubau, Serdang Bedagai, Indramayu, Batu, dan provinsi DKI Jakarta.
Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas, Endah Murniningtyas, mengatakan modul perubahan iklim menjadi alat penting untuk mengkomunikasi rencana aksi untuk perubahan iklim kepada masyarakat. Terutama berkaitan dengan penurunan emisi yang sudah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011.
"Ini adalah alat penting untuk bisa meningkatkan kapasitas masyarakat dan mengetahui konten informasi tentang perubahan iklim," ujar Endah.
Menurut Endah, jika nanti sudah disosialisasikan dan dilatihkan, masyarakat menjadi paham tentang apa itu perubahan iklim dan apa yang harus dilakukan untuk menyikapinya. "Kan sekarang kalau masyarakat ditanya itu ndak tahu, bahasanya bisa beda-beda," kata dia.
MAHARDIKA SATRIA HADI