TEMPO.CO , Jakarta:Pada titik tertentu, seseorang mungkin pernah merasa bahwa cinta justru membuat masalah. Terkadang banyak yang berpikir, cinta seperti penyakit yang perlu disembuhkan sehingga peneritanya kembali menjadi rasional.
Ternyata, ada ilmuwan yang benar-benar tertarik mencari obat anti-cinta itu. Salah satunya, Ahli etika dan saraf dari Universitas Oxford, Brian D. Earp.
Ia berpikir jika ada kebenaran pada pepatah lama 'cinta adalah obat'. “Penelitian tentang otak terbaru menunjukkan ada kesejajaran luas antara obat adiktif tertentu dengan pengalaman jatuh cinta,” kata Brian seperti dilansir dari laman Independent, 13 Februari 2015.
Obat adiktif dan cinta sama-sama mengaktifkan sistem penghargaan otak, dapat menguasai seseorang sehingga dia melupakan hal-hal lain. Sepertinya bukan sebuah pepatah klise bahwa cinta diibaratkan seperti obat. Dalam hal efeknya terhadap otak, secara kimia saraf mereka cinta dan obat bisa jadi setara.
Obat anti-cinta, seperti antidepresan, secara tak resmi telah digunakan. Brian mencatat bahwa di Israel beberapa Yahudi ultra-Ortodoks meresepkan antidepresan kepada siswa yeshiva muda untuk mengurangi libido mereka, dengan menggunakan efek samping dari obat tersebut.
Brian berpikir, situasi tertentu di mana perawatan obat lebih canggih dapat berguna. “Anda bisa membayangkan situasi di mana pengalaman cinta seseorang begitu berbahaya, tapi juga sangat tak tertahankan, sehingga melemahkan kemampuan mereka berpikir rasional untuk diri mereka sendiri,” katanya.
Beberapa orang yang sedang menjajaki hubungan berbahaya tahu bahwa mereka harus keluar, bahkan ingin, tapi tak kuasa mematahkan ikatan emosional mereka.
Jika, misalnya, seorang perempuan mendapat perlakuan kasar dari pasangannya dapat mengakses obat yang akan membantu berpisah dari pelakunya, lalu dengan asumsi aman dan efektif kami pikir dia dapat dibenarkan dalam mengambil obat tersebut.
Saat 'pengobatan' cinta secara teoritis dapat mengurangi kasus depresi, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan bunuh diri, ada pertimbangan etis dan kelemahannya juga.
Pengobatan tersebut menyiratkan bahwa patah hati bukanlah proses pembelajaran yang menguatkan. “Penting untuk berhati-hati membuat rekomendasi luas,” kata Earp memperingatkan. “Ada beberapa orang yang sangat hancur untuk waktu yang lama setelah putus yang membuat mereka tak dapat melanjutkan hidup. Bagian tersebut adalah depresi dan ada banyak perawatan untuk itu.”
Brian mengatakan, dalam kasus kekerasan rumah tangga yang mengancam jiwa ia tidak merekomendasikan pengobatan berbasis obat pada seseorang jika itu bertentangan dengan keinginan mereka. "Intervensi non-biokimia harus dicoba terlebih dahulu,” kata dia.
Menumpulkan emosi ekstrem dan melonggarkan ikatan romantis adalah efek samping dari antidepresan yang melonjakkan serotonin. Namun, di era digital, antidepresan membuat hubungan jadi lebih intens serta konstan dari sebelumnya.
Di Jepang, beberapa orang mengatasi masalah cinta dengan diri mereka sendiri. Ada sebuah fenomena sosial yang dikenal sebagai lelaki herbivora yang menjauhkan diri dari pacar atau menikah untuk fokus pada kehidupan sendiri.
THE INDEPENDENT | WINONA AMANDA